Kamis, 22 November 2012

Makalah Tokoh Pembaharu Nahwu

MAKALAH
“METODE IBRAHIM MUSTHOFA DALAM ILMU NAHWU”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Nahwu

Dosen pembimbing:
Tamim Mullah,S.S., M. Pd.













Oleh:
M. Khamim (10310065)
Zakiatul Fakhiro (10310078)
S. Syeh Assegaf (10310080)




JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas segala limpahan Rahmat dan Hadayah-Nya, sehingga kami senantiasa bisa menyelami indahnya menuntut ilmu di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tercinta ini. Sholawat dan salam tercurah selalu kepada Rasulullah Muhammad SAW. revolusioner Islam, pembawa risalah syariat yang sempurna, serta keluarga, para sahabat, dan siapa saja yang mengikuti petunujuknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas ushul nahwu. Dalam makalah ini, kami mencoba memaparkan perihal Ibrahim musthafa, salah satu kritikus nahwu abad modern: biografi singkat, karya, dan sumbangsih pemikirannya. Dengan tersusunnya makalah ini, semoga menjadi wawasan baru tentang jati diri Ilmu Nahwu.
Tentunya terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi sempurnyanya kemurnian khazanah ilmu Nahwu. Akhirnya, kami berharap pada AllahSWT. agar apa yang kami tulis menjadi amal shalih dan menjadi harapan tergapainya syafaat Rasul penutup para nabi.




                                                                                    Malang,    Mei 2012 M   
                                                                                                     Rajab 1433 H
                                                                                   
                                                                                                Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Upaya dalam memudahkan pengkajian ilmu nahwu telah ada sejak munculnya ilmu nahwu itu sendiri. Berbagai konsep dan metode telah dikemukakan oleh para tokoh nahwu,Disadari atau tidak, bahwa perjalanan ilmu nahwu terus berjalan dari abad klasik hingga abad modern bahkan kontemporer saat ini. Tentunya terdapat banyak sejarah tokoh, pemikiran-pemikiran, serta perdebatan yang terjadi. yang telah banyak memberikan warna tersendiri dalam khazanah Ilmu Nahwu.
Dengan landasan itu, kiranya perlu banyak kajian terhadap Ilmu nahwu dalam rangka menggali lebih dalam sejarah perkembangan nahwu hingga sekarang. Karena sesungguhnya hal itu akan menjadi bukti eksistensi suatu peradaban.
           


B. Rumusan Masalah
                       
Dalam makalah ini, kami mencoba mengangkat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok bahasan di dalamnya, yaitu :

1.  Siapa Ibrahim Musthofa?
2.  Bagaimanakonsep nahwumenurut Ibrahim Musthofa?
3.  Bagaimana pemikiran dan metode Ibrahim Musthofa dalam Ilmu Nahwu?




B.     Tujuan

     - Mengetahui lebih dalam tentang tokoh-tokoh dalam nahwu pembaruan
     - Memahami perbandingan teori nahwu mulai abad klasik hinggakontemporer.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibrahim Musthofa

Ibrahim musthafa adalah seorang kritikus dan pembaharuan nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola berpikirnya.
Di masa remajanya, beliau mengenyam masa pendidikannya di beberapa universitas di mesir, mulai dari universitas al-azhar, darul ulum, universitas mesir lama, universitas mesir al-ulya dan universitas mesir baru.[1]
Rasa jenuh dan bosan terhadap konsep nahwu klasik sudah beliau rasakan saat berada di al-azhar, dan mulai meragukan konsep tersebut ketika berada di universitas mesir lama, sehingga pada saat berada di universitas mesir baru beliau mulai menyusun konsep nahwu yang baru.[2] Pada bulan januari 1937 beliau mempublikasikan karyanya dalam ilmu nahwu yang berjudul “Ihya’ al-nahwi” yang didalamnya beliau menawarkan konsep dan metode pengkajian ilmu nahwu yang baru.[3]
Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti selama tujuh tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami uslub-uslubnya (stylistikanya).[4]

B.     Konsep Nahwu Ibrahim Musthofa

Konsep nahwu yang di tawarkan Ibrahim Musthofa tidak jauh berbeda dengan konsep yang telah dikemukakan oleh Ibnu Madho’ sebelumnya, seperti dalam hal penolakan terhadap amil dan lainnya, beliau juga mengemukakan beberapa pendapatnya yang lain tentang tanda I’rob, Tawabi’ dan lainya.[5]
Beberapa opini atau pernyataan penting yang beliau sebutkan dalam kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
·      Rofa’(dhommah)  adalah tanda isnad
·      Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
·      Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya harokat yang ringan dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan, dan tidak banyak mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal sukun
·      Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal diatas( rofa’ dan jar) kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’.[6]

Beliau juga menambahkan beberapa point penting lainnya yang tertulis dalam pendahuluan bukunya tersebut, yaitu :
·      Tanwin merupakan tanda nakiroh(kata umum)
·      Tidak ada isim ma’rifat yang bertanwin( kata khusus)
·      Kata sifat(na’at) boleh bertanwin, kecuali kata sifat tersebut tertentu pada isim ma’rifat (man’utnya).[7]

Konsep baru yang disumbangkan oleh Ibrahim musthofa ini setidaknya telah mempengaruhi pada generasi-generasi sesudahnyaDalam pengkajian ilmu nahwu, walaupun tidak sedikit pula yang menolak dan mengkritik ide pembaharuannya tersebut.[8]

C.    Ide Pembaharuan Nahwu  Ibrahim Muusthofa

Ibrahim Musthafa telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran pembaruan terhadap Ilmu Nahwu. Dari pemikiran-pemikirannya, diantaranya yang terpenting adalah tentang redefinisi nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah i’rab, tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah dan tawabi’.

1.      Redefinisi Nahwu

Pada umumnya, para ulama’ nahwu klasik memberi definisi nahwu dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari segi mu’rab maupun mabninya”.[9]menurut Ibrahim pendefinisiaan  seperti ini akan mempersempit wilayah kajian nahwu, yang hanya akan berkutat dan terfokus pada huruf terakhir pada sebuah kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabni.
Beliau memberikan definisi baru pada nahwu yaitu : aturan penyusunan kalimat, disertai penjelasan posisi setiap kata yang ada didalamnya, juga posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lainnya yag lebih luas, sehingga menjadi sebuah susunan kata yang sistematis dan memiliki pengertian yang memadahi.[10]

Beliau juga mengatakan bahwa para ahli nahwu yang membatasi pengertian nahwu seperti diatas salah karena dua alasan :
1)      Mereka membatasi ilmu nahwu dan menyempitkan pembahasannya serta tidak memperhatikan uslub bahasa arab.
2)      Mereka menggunakan metode lafdhiyah saja.[11]

2.      Penolakan terhadap konsep Amil

Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan menyatakan sebagai berikut:“lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka adalah nahwu itu sendiri”.[12]
Menurut Ibrahim, inti pembicaraan mereka tentang amil dapat disarikan sebagai berikut:
a)      Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan (muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama seperti dalam contoh:”سقيالك،تقديره –إسقاللهمسقيادعائىلك
b)      Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul. Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu kalimat:”بحسبكهذا. Huruf “ba” pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasusu semacam ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling betrebut dalam beramal) yang sangat rumit dan berbelit-belit.
c)      Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanya dapat merafa’kan satu isim saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan menasabkan sekaligus.
d)     Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa. Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e)      Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama isim saja, tetapi juga dapat beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.
f)       Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua dapat beramal jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim, huruf dapat beramal menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya dilihat dari sejauh mana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia memiliki arti yang berfungsi memperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari segi maknanya, disamping itu huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang berarti pula semakin lemah beramalnya.
g)      Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat berpasangan dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il mudhari’ maupun fi’il madhi.
h)      Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.
i)        Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk kategori amil yang kuat, maka ia dapat diletakkan setelah ma’mulnya.
j)        Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait langsung, tidak ada pemisah diantara keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang kuat maka ia dapat dipisah dengan ma’mulnya.
k)      Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
l)        Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.
m)    Bagian kata saja tidak dapat berperan sebagai amil.
n)      Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi “mahalnya” saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang membuatnya demikian.
o)      Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.

Demikianlah intisari pembicaraan para ahli nahwu tentang amil dan i’rab yang mereka bangun dengan berdasarkan pemikiran yang logik dan filosofis sehingga mereka mengabaikan hal yang terpenting dari kalimat, yaitu makna yang terkandung di dalamnya.[13]

3.      Pembatasan tanda i’rab

selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka Ibrahim Musthafa mengajukan tawaran agar fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya, tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk menentukan makna dari kalimat.
·         Dhammah menurutnya adalah tanda dari isnad (alamat al-Isnad). Karenanya, Ibrahim mengklompokkan pembahasan tentang al-Mubtada’, al-Fa’il dan Na’ibul Fail, isim kâna. Semuanya tadi dalam kategori Ibrahim adalah berstatus sebagai musnad ilaih (al-Musnad ilaihi) dan ditandai dengan harakat dhammah.
·         Sedangkan kasroh menurut Ibrahim adalah sebagai tanda dari idafah (al-Idhâfah). Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
·         Fathah, dalam pandangan Ibrahim tidak termasuk tanda dari i’rab, sebab ia tidak menunjukan makna apapun. Fathah hanyalah harakat yang lebih disukai orang Arab daripada harakat-harakat lain. Mengapa demikian? Sebab harakat fathah lebih ringan dalam pengucapan daripada harakat-harakat lain semisal kasrah, dhammah atau bahkan sukun.[14]

4.      Penolakan adanya tanda I’rab far’iyyah

para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang atau yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i’rab yang asli. Dalam beberapa kasus misalnya :

a)      kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini: “جاءأبوك،رأيتأباك،مررتبأبيك”, menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf “wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”. Menurut Ibrahim, teori ini terlalu mengada-ada dan dipaksakan, karena kalimat-kalimat tersebut adalah merupakan kalimat yang mu’rab seperti kalimat-kalimat mu’rab lainnya yang didhammah karena berperan sebagai musnad ilaih dan dikasrah karena idhafah. Jika diluar peran sebagai isnad dan idhafah maka semuanya ditandai harakat fathah.

b)      kasus jama’ muzakkar salim (jam’ al-Muzakkar al-Salim) yang menurut mereka huruf “wawu” yang terdapat di dalamnya adalah sebagai tanda rafa’, sedang huruf “ya’” sebagai tanda nasab dan jar. Seperti dalama kasus contoh” جاءالمسلمون،رأيتالمسلمـين،مررتبالمسلمـينPadahal, menurut Ibrahim, dalam kasus tersebut persoalannya lebih simpel dibanding yang terjadi dalam kasus asma’ul khamsah. Tanda rafa’nya adalah dhammah, sedang huruf “wawu” berfungsi sebagai “isybâ’” (pemuasan atau pemantapan semata), demikian pula, kasrah tetap sebagai tanda jar dalam contoh tersebut, sedangkan huruf “ya’” hanya berfungsi sebagai isyba’. Di dalam kasus contoh tersebut fathah tidak disinggung, karena memang bukan merupakan bagian dari tanda I’rab. Hal serupa juga terjadi dalam jama’ mu’annats salim yang hanya mengenal I’rab dhammah dan kasrah karena, sekali lagi, fathah bukan termasuk dari tanda I’rab.
c)      kasus isim ghairu munsharif (tidak menerima tanda tanwin) tanda fathah yang terdapat padanya ketika majrur disebut sebagai ganti dari tanda akasrah. Sebab, menurutnya, tanda fathah itu tidak ada, maka iapun tidak dijadikan sebagai ganti tanda lain (kasrah) yang memang ada. Menurutnya, kasus isim ghiru munsharif yang tidak ditanwin (kasrah) ketika ia dalam posisi majrur mirip kasus yang terjadi pada kata yang diidafahkan pada “ya’ mutakallim” ketika huruf yatersebut dibuang (tidak disebutkan) dimana mereka menggantinya dengan tanda kasrah, lalu dengan fathah manakala muncul kekaburan, tetapi setelah dianggap jelas dan tidak lagi kabur dengan yang lain, maka tanda kasrah dimunculkan kembali. Contoh-contoh kasus ini biasanya terjadi pada kata-kata yang diawali dengan huruf “al” atau diikuti dengan idafah.[15]

5.      Tawabi’

Dalam buku-buku nahwu klasik yang termasuk dalam kategori tawabi’ tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”. Ibrahim tidak menolak adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang athaf (al-Athaf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadipembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari tawabi, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.
  Menurut Ibrahim yang layak menjadi pembahasan khusus adalah makna daripada setiap huruf athaf. Sebab tawabi’ sebenarnya ada dua macam :

a)      Pertama, kedudukannya (perannya) sebagai pelengkap makna kata sebelumnya, karena makna kalimat belum dapat dipahami apabila tidak menyebutkan kedua-duanya. Oleh karena itu, dalam kasus ini tabi’ harus sesuai persis (paralel, agreemen) dengan matbu’nya. Termasuk dalam kategori jenis pertma ini adalah al-Na’at.

b)      Kedua, kata kedua (matbu’) bersifat independen, memiliki makna sendiri yang sudah dapat dipahami tanpa kehadiran lafadz kedua (tabi’). Sedang kehadiran lafadz kedua hanya berperan sebagai penjelas dari yang pertama Begitu pula lafadz atau kedua sudah sudah dapat dipahami seandainya tanpa menyebutkan kata yang pertama. Penuturan kedua-duanya hanya berfungsi sebagai taukid dan penjelas semata, perhatikan contoh berikut ini:””زارنيمحمدأبوعبدالله،لقيتالقومأكثرهمأوكلهم .Kalimat tersebut dapat dikatakan dengan susunan seperti ini:”زارنـيمحمدأوزارنـيأبوعبداللهdengan memiliki pengertian yang sama, sebab yang dimaksud dengan Muhammad juga Abu Abdullah, dan Abu Abdullah juga Muhammad. Penggabungan kedua kata tersebut hanya berfungsi sebagai penjaelas (bayan) dan memperkuat pernyataan (taukid). Termasuk dalam kategori kedua ini adalah al-badal, al-taukid dan athaf bayan.
           
Cara pembagian yang demikian ini menurut Ibrahim lebih jelas, mudah dan efektif dari segi pembahasan ilmu nahwu. Yang membedakan fungsi masing-masing kata dalam struktur sebuah kalimat adalah maknanya. Dengan memperhatikan makna kata seseorang langsung dapat mengetahui fungsi dan ststus sebuah kata dalam kalimat tanpa harus bingung apakah ia sebagai na’at, badal atau athaf bayan.[16]

























BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan:

1.   Ibrahim Musthofa, adalah seorang kritikus dan pembaharu nahwu abad modern.

2. Pada tahun 1936 Ibrahim Musthafa menyelesaikan karyanya dibidang nahwu, dan       menghasilkan karya yang ia beri judul “Ihyâ’ al-Nahwi”.
3. Dalam pembaruan Ilmu Nahwu, Ibrahim Musthafa mengkritik beberapa kajian nahwu.  Diantaranya: tentang redefinisi nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah tanda i’rab, penolakan tanda i’rab far’iyah, dan tawabi’.



B.     DAFTAR PUSTAKA

Dhaif,syauqi. Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif.

Ghalayini, Musthafa. Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah. 2005. Kairo: Darul Hadits .

Musthafa, Ibrahim. Ihya’un Nahwi. 1992. Kairo: Lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr.

http://zamzamafandi.blogspot.com200806pembaharuan-ilmu-nahwu-kajian.html.


[1] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2, hlm: cover/pdf
[2] Disimpulkan dari keterangan Taha Husain dalam kata pengantar kitab ihya’ An-nahwi . Ibid.
[3] Syauqi Dhoif. Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif, hlm: 27
[4]Ibrahim musthofa. Op.cit, hlm : muqaddimah
[5]Syauqi Dhoif. Op.cit, hlm : 27-28
[6]Ibrahim musthofa. Op.cit.
[7]Ibid.
[8]Syauqi Dhoif. Op.cit, hlm: 31
[9]Musthofa Al Ghalayini, Jami’ Ad-Duruus Al ‘Arabiyyah. Kairo: Darul Hadits, hlm: 8
[10]Ibrahim musthofa. Op.cit. hlm: 1
[11]Ibid. hlm: 7-8
[12]Ibid. hlm: 22
[13] http://zamzamafandi.blogspot.com.2008-06.pembaharuan-ilmu-kajian.html
[14]Ibrahim musthofa. Op.cit. hlm: 51-50
[15]Ibid. hlm: 108-113
[16]Ibid. hlm: 114-120

1 komentar: