MAKALAH
“METODE IBRAHIM MUSTHOFA DALAM ILMU NAHWU”
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Nahwu
Dosen pembimbing:
Tamim Mullah,S.S., M. Pd.
Oleh:
M. Khamim (10310065)
Zakiatul Fakhiro (10310078)
S. Syeh Assegaf (10310080)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
ARAB
FAKULTAS HUMANIORA DAN
BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah, atas segala limpahan Rahmat dan Hadayah-Nya, sehingga
kami senantiasa bisa menyelami indahnya menuntut ilmu di UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang tercinta ini. Sholawat dan salam tercurah selalu kepada Rasulullah Muhammad SAW. revolusioner Islam, pembawa risalah syariat yang
sempurna, serta keluarga, para sahabat, dan siapa saja yang mengikuti
petunujuknya.
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas ushul nahwu. Dalam makalah ini, kami mencoba
memaparkan perihal Ibrahim musthafa, salah satu kritikus nahwu abad modern:
biografi singkat, karya, dan sumbangsih pemikirannya. Dengan tersusunnya
makalah ini, semoga menjadi wawasan baru tentang jati diri Ilmu Nahwu.
Tentunya
terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh sebab itu, segala kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi sempurnyanya kemurnian
khazanah ilmu Nahwu. Akhirnya, kami berharap pada AllahSWT. agar apa yang
kami tulis menjadi amal shalih dan menjadi harapan tergapainya syafaat Rasul penutup
para nabi.
Malang,
Mei 2012 M
Rajab 1433 H
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Upaya dalam memudahkan pengkajian ilmu
nahwu telah ada sejak munculnya ilmu nahwu itu sendiri. Berbagai konsep dan
metode telah dikemukakan oleh para tokoh nahwu,Disadari atau tidak, bahwa perjalanan
ilmu nahwu terus berjalan dari abad klasik hingga abad modern bahkan
kontemporer saat ini. Tentunya terdapat banyak sejarah tokoh,
pemikiran-pemikiran, serta perdebatan yang terjadi. yang telah banyak
memberikan warna tersendiri dalam khazanah Ilmu Nahwu.
Dengan landasan
itu, kiranya perlu banyak kajian terhadap Ilmu nahwu dalam rangka menggali
lebih dalam sejarah perkembangan nahwu hingga sekarang. Karena sesungguhnya hal
itu akan menjadi bukti eksistensi suatu peradaban.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini, kami mencoba mengangkat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok
bahasan di dalamnya, yaitu :
1. Siapa Ibrahim
Musthofa?
2. Bagaimanakonsep nahwumenurut Ibrahim
Musthofa?
3. Bagaimana
pemikiran dan metode Ibrahim Musthofa dalam Ilmu Nahwu?
B. Tujuan
- Mengetahui
lebih dalam tentang tokoh-tokoh dalam nahwu pembaruan
- Memahami perbandingan teori
nahwu mulai abad klasik hinggakontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibrahim Musthofa
Ibrahim musthafa adalah seorang kritikus dan pembaharuan nahwu abad
modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan pola
berpikirnya.
Di masa remajanya, beliau mengenyam masa pendidikannya di beberapa universitas
di mesir, mulai dari universitas al-azhar, darul ulum, universitas mesir lama, universitas
mesir al-ulya dan universitas mesir baru.[1]
Rasa jenuh dan bosan terhadap konsep nahwu klasik sudah beliau
rasakan saat berada di al-azhar, dan mulai meragukan konsep tersebut ketika
berada di universitas mesir lama, sehingga pada saat berada di universitas
mesir baru beliau mulai menyusun konsep nahwu yang baru.[2]
Pada bulan januari 1937 beliau mempublikasikan karyanya dalam ilmu nahwu yang
berjudul “Ihya’ al-nahwi” yang didalamnya beliau menawarkan konsep dan metode
pengkajian ilmu nahwu yang baru.[3]
Pada bagian pengantarnya, Ibrahim Musthafa
menyatakan sebagai berikut: ”Buku ini membahas tentang nahwu yang aku geluti
selama tujuh tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa
lembar saja. Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari
bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para pelajar dan
menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel sehingga mereka dapat
dengan mudah mempelajari bahasa Arab, juga mengantarkan mereka dapat memahami
uslub-uslubnya (stylistikanya).[4]
B.
Konsep Nahwu Ibrahim Musthofa
Konsep nahwu yang di tawarkan Ibrahim Musthofa tidak jauh berbeda
dengan konsep yang telah dikemukakan oleh Ibnu Madho’ sebelumnya, seperti dalam
hal penolakan terhadap amil dan lainnya, beliau juga mengemukakan beberapa
pendapatnya yang lain tentang tanda I’rob, Tawabi’ dan lainya.[5]
Beberapa opini atau pernyataan penting yang beliau sebutkan dalam
kitabnya ihya’ an-nahwu antara lain :
·
Rofa’(dhommah) adalah tanda
isnad
·
Jar (kasroh) adalah tanda idhofah
·
Fathah bukanlah tanda I’rob, melainkan hanya harokat yang ringan
dan digemari oleh orang arab disetiap mengakhiri perkataan, dan tidak banyak
mendapat perhatian, yang mana hal itu serupa dengan perihal sukun
·
Tanda I’rob dalam isim termasuk dalam hal diatas( rofa’ dan jar)
kecuali dalam hal bina’ ataupun bagian dari tawabi’.[6]
Beliau juga menambahkan beberapa point penting lainnya yang
tertulis dalam pendahuluan bukunya tersebut, yaitu :
·
Tanwin merupakan tanda nakiroh(kata umum)
·
Tidak ada isim ma’rifat yang bertanwin( kata khusus)
·
Kata sifat(na’at) boleh bertanwin, kecuali kata sifat tersebut
tertentu pada isim ma’rifat (man’utnya).[7]
Konsep baru yang disumbangkan oleh Ibrahim musthofa ini setidaknya
telah mempengaruhi pada generasi-generasi sesudahnyaDalam pengkajian ilmu
nahwu, walaupun tidak sedikit pula yang menolak dan mengkritik ide
pembaharuannya tersebut.[8]
C.
Ide Pembaharuan Nahwu
Ibrahim Muusthofa
Ibrahim Musthafa telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran
pembaruan terhadap Ilmu Nahwu. Dari pemikiran-pemikirannya, diantaranya yang
terpenting adalah tentang redefinisi nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian
ulang masalah i’rab, tanda-tanda i’rab yang bersifat far’iyah dan tawabi’.
1.
Redefinisi Nahwu
Pada umumnya, para ulama’ nahwu klasik memberi definisi nahwu
dengan:”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui posisi akhir kata baik dari
segi mu’rab maupun mabninya”.[9]menurut
Ibrahim pendefinisiaan seperti ini akan
mempersempit wilayah kajian nahwu, yang hanya akan berkutat dan terfokus pada
huruf terakhir pada sebuah kata, khususnya lagi tentang mu’rab dan mabni.
Beliau memberikan definisi baru pada nahwu yaitu : aturan
penyusunan kalimat, disertai penjelasan posisi setiap kata yang ada didalamnya,
juga posisi kalimat dalam kaitannya dengan kalimat lainnya yag lebih luas,
sehingga menjadi sebuah susunan kata yang sistematis dan memiliki pengertian
yang memadahi.[10]
Beliau juga mengatakan bahwa para ahli nahwu yang membatasi
pengertian nahwu seperti diatas salah karena dua alasan :
1)
Mereka membatasi ilmu nahwu dan menyempitkan pembahasannya serta
tidak memperhatikan uslub bahasa arab.
2)
Mereka menggunakan metode lafdhiyah saja.[11]
2.
Penolakan terhadap konsep Amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh
dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan
menyatakan sebagai berikut:“lebih dari seratus ribu tahun mereka menekuni dan
mengkaji masalah i’rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat
dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat untuk membongkar
rahasia i’rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya kajian mereka menyatakan bahwa
I’rab adalah wujud adanya pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan)
maupun yang tidak. Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara
kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi mereka
adalah nahwu itu sendiri”.[12]
Menurut Ibrahim, inti pembicaraan mereka tentang amil dapat
disarikan sebagai berikut:
a)
Setiap tanda i’rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut
tidak disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar), memang ada
amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan
(muqaddar). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak sama
seperti dalam contoh:”سقيالك،تقديره –إسقاللهمسقيادعائىلك”
b)
Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma’mul.
Kalau kasus ini terjadi maka para ulama’ nahwu klasik membagi cara kerja
keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya lagi
beroperasi pada segi posisinya seperti dalam kasusu kalimat:”بحسبكهذا”. Huruf “ba”
pada kata “hasbika” bermal pada lafadz “hasbika” itu sendiri, sedangkan amil
ibtida’nya beramal pada posisinya yang menjadi mubtada’. Dari kasusu semacam
ini lalu mereka menciptakan teori “al-Tanâzu’” (saling betrebut dalam beramal)
yang sangat rumit dan berbelit-belit.
c)
Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi’il semata dan
hanya beramal pada isim, baik rafa’ nashab. Fi’il hanya dapat merafa’kan satu
isim saja, menasabkan lebih dari satu isim tetapi dapat merafa’kan dan
menasabkan sekaligus.
d)
Fi’il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal
sempurna, sedangkan fi’il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil
yang lemah. Ia tidak dapat beramal kepada kata yang mendahuluinya, bahkan
diantaranya ada dapat menjadi amil setelah memenuhi beberapa syarat tertentu
seperti fi’il yang berfungsi sebagai ta’ajub, juga kata ni’ma dan bi’sa.
Sedangkan fi’il naqis hanya dapat beramal kepada mubtada’ dan khabar.
e)
Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu
dengan fi’il seperti isim fa’il, isim maf’ul dan isim mashdar. Setiap isim yang
tidak memiliki kemiripan dengan fi’il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi
amil. Cara kerja isim tidak terbatas pada sesama isim saja, tetapi juga dapat
beramal pada fi’il, ia dapat merafa’kan dan menashabkan isim, tetapi terhadap
fi’il ia hanya dapat menjazamkan saja.
f)
Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri
sebagai huruf asli dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi’il, kedua
dapat beramal jarena dipersamakan dengan fi’il. Huruf dapat beramal baik
terhadap isim maupun fi’il, ia merafa’kan, menasabkan dan mengejerkannya.
Terhadap isim, huruf dapat beramal menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf
tersebut dalam proses amalnya dipersamakan dengan fi’il, maka kekuatan amalnya
dilihat dari sejauh mana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi’il baik
dari segi makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal
karena ia memiliki arti yang berfungsi memperkuat pernyataan (taukid). Oleh
sebab itu, ia memiliki kesamaan dengan fi’il dari segi maknanya, disamping itu
huruf “inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi’il dari
segi bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan
menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi’il yang
berarti pula semakin lemah beramalnya.
g)
Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi
kata-kata atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat
beramal terhadap fi’il mudhari’ sebab keduanya memang hanya dapat berpasangan
dengan fi’il mudhari’. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”, huruf ini tidak
dapat beramal seba ia tidak memiliki pasangan khusus, ia dapat masuk pada fi’il
mudhari’ maupun fi’il madhi.
h)
Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks
dan posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal
sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.
i)
Posisi amil berada sebelum ma’mulnya, tetapi jika amil itu termasuk
kategori amil yang kuat, maka ia dapat diletakkan setelah ma’mulnya.
j)
Pada prinsipnya antara amil dan ma’mul harus terkait langsung,
tidak ada pemisah diantara keduanya, namun jika amil termasuk kategori yang
kuat maka ia dapat dipisah dengan ma’mulnya.
k)
Amil-amil yang bekerja untuk fi’il memiliki posisi lebih lemah
daripada amil-amil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk
fi’il terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti
huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
l)
Sebuah kata, dapat berfungsi sebagai amil dan juga ma’mul
sekaligus, tetapi dua kata tidak dapat saling beramal.
m)
Bagian kata saja tidak dapat berperan sebagai amil.
n)
Ada beberapa amil yang hanya dapat beramal dari segi “mahalnya”
saja, bukan pada lafadznya karena adanya hal-hal tertentu yang membuatnya
demikian.
o)
Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan
dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing dari
keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya, ia
disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga
memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.
Demikianlah intisari pembicaraan para ahli nahwu tentang amil dan
i’rab yang mereka bangun dengan berdasarkan pemikiran yang logik dan filosofis
sehingga mereka mengabaikan hal yang terpenting dari kalimat, yaitu makna yang
terkandung di dalamnya.[13]
3.
Pembatasan tanda i’rab
selama ini tanda I’rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam
yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka Ibrahim Musthafa mengajukan tawaran
agar fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i’rab. Jadi menurutnya,
tanda i’rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan
karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk
menentukan makna dari kalimat.
·
Dhammah menurutnya adalah tanda dari isnad (alamat al-Isnad).
Karenanya, Ibrahim mengklompokkan pembahasan tentang al-Mubtada’, al-Fa’il dan
Na’ibul Fail, isim kâna. Semuanya tadi dalam kategori Ibrahim adalah berstatus
sebagai musnad ilaih (al-Musnad ilaihi) dan ditandai dengan harakat dhammah.
·
Sedangkan kasroh menurut Ibrahim adalah sebagai tanda dari idafah
(al-Idhâfah). Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang
termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah
konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti
huruf “min. ila’ ‘an. ‘ala’ fi’ dan lain sebagainya yang olehnya disebut
sebagai huruf idhafah (hurûf al-Idhafah).
·
Fathah, dalam pandangan Ibrahim tidak termasuk tanda dari i’rab,
sebab ia tidak menunjukan makna apapun. Fathah hanyalah harakat yang lebih disukai
orang Arab daripada harakat-harakat lain. Mengapa demikian? Sebab harakat
fathah lebih ringan dalam pengucapan daripada harakat-harakat lain semisal
kasrah, dhammah atau bahkan sukun.[14]
4.
Penolakan adanya tanda I’rab far’iyyah
para ahli nahwu klasik pada umumnya juga menciptakan i’rab cabang
atau yang biasa disebut dengan “al-‘Alâmat al-Far’iyyah” yang beperan sebabagi
pengganti dari i’rab yang asli. Dalam beberapa kasus misalnya :
a)
kasus al-Asma’ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini: “جاءأبوك،رأيتأباك،مررتبأبيك”,
menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa’nya ditandai dengan huruf
“wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif” sedang dalam
contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya’”. Menurut Ibrahim, teori
ini terlalu mengada-ada dan dipaksakan, karena kalimat-kalimat tersebut adalah
merupakan kalimat yang mu’rab seperti kalimat-kalimat mu’rab lainnya yang
didhammah karena berperan sebagai musnad ilaih dan dikasrah karena idhafah.
Jika diluar peran sebagai isnad dan idhafah maka semuanya ditandai harakat
fathah.
b)
kasus jama’ muzakkar salim (jam’ al-Muzakkar al-Salim) yang menurut
mereka huruf “wawu” yang terdapat di dalamnya adalah sebagai tanda rafa’,
sedang huruf “ya’” sebagai tanda nasab dan jar. Seperti dalama kasus contoh” جاءالمسلمون،رأيتالمسلمـين،مررتبالمسلمـينPadahal, menurut Ibrahim, dalam kasus tersebut persoalannya lebih
simpel dibanding yang terjadi dalam kasus asma’ul khamsah. Tanda rafa’nya
adalah dhammah, sedang huruf “wawu” berfungsi sebagai “isybâ’” (pemuasan atau
pemantapan semata), demikian pula, kasrah tetap sebagai tanda jar dalam contoh
tersebut, sedangkan huruf “ya’” hanya berfungsi sebagai isyba’. Di dalam kasus
contoh tersebut fathah tidak disinggung, karena memang bukan merupakan bagian
dari tanda I’rab. Hal serupa juga terjadi dalam jama’ mu’annats salim yang
hanya mengenal I’rab dhammah dan kasrah karena, sekali lagi, fathah bukan
termasuk dari tanda I’rab.
c)
kasus isim ghairu munsharif (tidak menerima tanda tanwin) tanda
fathah yang terdapat padanya ketika majrur disebut sebagai ganti dari tanda
akasrah. Sebab, menurutnya, tanda fathah itu tidak ada, maka iapun tidak
dijadikan sebagai ganti tanda lain (kasrah) yang memang ada. Menurutnya, kasus
isim ghiru munsharif yang tidak ditanwin (kasrah) ketika ia dalam posisi majrur
mirip kasus yang terjadi pada kata yang diidafahkan pada “ya’ mutakallim”
ketika huruf ya’tersebut dibuang (tidak disebutkan) dimana mereka menggantinya
dengan tanda kasrah, lalu dengan fathah manakala muncul kekaburan, tetapi
setelah dianggap jelas dan tidak lagi kabur dengan yang lain, maka tanda kasrah
dimunculkan kembali. Contoh-contoh kasus ini biasanya terjadi pada kata-kata
yang diawali dengan huruf “al” atau diikuti dengan idafah.[15]
5.
Tawabi’
Dalam buku-buku nahwu klasik yang termasuk dalam kategori tawabi’
tersebut adalah “al-athf, al-na’at, al-taukid dan al-badal”. Ibrahim tidak menolak
adanya tawabi’ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang athaf
(al-Athaf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi atau menjadipembahasan
tersendiri. Sebab lafadz yang diatafkan memang tidak termasuk dari tawabi,
tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma’thuf-nya.
Menurut Ibrahim yang layak
menjadi pembahasan khusus adalah makna daripada setiap huruf athaf. Sebab tawabi’
sebenarnya ada dua macam :
a)
Pertama, kedudukannya (perannya) sebagai pelengkap makna kata
sebelumnya, karena makna kalimat belum dapat dipahami apabila tidak menyebutkan
kedua-duanya. Oleh karena itu, dalam kasus ini tabi’ harus sesuai persis
(paralel, agreemen) dengan matbu’nya. Termasuk dalam kategori jenis pertma ini
adalah al-Na’at.
b)
Kedua, kata kedua (matbu’) bersifat independen, memiliki makna
sendiri yang sudah dapat dipahami tanpa kehadiran lafadz kedua (tabi’). Sedang
kehadiran lafadz kedua hanya berperan sebagai penjelas dari yang pertama Begitu
pula lafadz atau kedua sudah sudah dapat dipahami seandainya tanpa menyebutkan
kata yang pertama. Penuturan kedua-duanya hanya berfungsi sebagai taukid dan
penjelas semata, perhatikan contoh berikut ini:””زارنيمحمدأبوعبدالله،لقيتالقومأكثرهمأوكلهم
.Kalimat tersebut dapat dikatakan dengan susunan seperti ini:”زارنـيمحمدأوزارنـيأبوعبدالله”dengan memiliki
pengertian yang sama, sebab yang dimaksud dengan Muhammad juga Abu Abdullah,
dan Abu Abdullah juga Muhammad. Penggabungan kedua kata tersebut hanya
berfungsi sebagai penjaelas (bayan) dan memperkuat pernyataan (taukid).
Termasuk dalam kategori kedua ini adalah al-badal, al-taukid dan athaf bayan.
Cara pembagian yang demikian ini menurut Ibrahim lebih jelas, mudah
dan efektif dari segi pembahasan ilmu nahwu. Yang membedakan fungsi
masing-masing kata dalam struktur sebuah kalimat adalah maknanya. Dengan
memperhatikan makna kata seseorang langsung dapat mengetahui fungsi dan ststus
sebuah kata dalam kalimat tanpa harus bingung apakah ia sebagai na’at, badal atau
athaf bayan.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Ibrahim Musthofa, adalah seorang kritikus dan pembaharu nahwu abad
modern.
2. Pada tahun
1936 Ibrahim Musthafa menyelesaikan karyanya dibidang nahwu, dan menghasilkan karya yang ia beri judul
“Ihyâ’ al-Nahwi”.
3. Dalam pembaruan Ilmu Nahwu, Ibrahim Musthafa mengkritik beberapa kajian
nahwu. Diantaranya: tentang redefinisi
nahwu, penolakan terhadap amil, pembagian ulang masalah tanda i’rab, penolakan tanda i’rab far’iyah, dan
tawabi’.
B.
DAFTAR PUSTAKA
Dhaif,syauqi. Tafsir
An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986.
Kairo: Daar Al-ma’aarif.
Ghalayini, Musthafa. Jami’ud Durus al ‘Arabiyyah. 2005. Kairo: Darul
Hadits .
Musthafa, Ibrahim. Ihya’un Nahwi. 1992. Kairo: Lajnat al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr.
http://zamzamafandi.blogspot.com200806pembaharuan-ilmu-nahwu-kajian.html.
[1] Ibrahim musthofa. Ihya’ An-Nahwi. 1992. Mesir: Cetakan ke 2,
hlm: cover/pdf
[2] Disimpulkan dari keterangan Taha Husain dalam kata pengantar kitab ihya’
An-nahwi . Ibid.
[3] Syauqi Dhoif. Tafsir An-nahwi At-ta’limi Qadiiman wa Hadiitsan
ma’a Nahji Tajdiidihi. 1986. Kairo: Daar Al-ma’aarif, hlm: 27
[4]Ibrahim musthofa. Op.cit, hlm : muqaddimah
[5]Syauqi Dhoif. Op.cit, hlm : 27-28
[6]Ibrahim musthofa. Op.cit.
[7]Ibid.
[8]Syauqi Dhoif. Op.cit, hlm: 31
[9]Musthofa Al Ghalayini, Jami’ Ad-Duruus Al ‘Arabiyyah. Kairo:
Darul Hadits, hlm: 8
[10]Ibrahim musthofa. Op.cit. hlm: 1
[13]
http://zamzamafandi.blogspot.com.2008-06.pembaharuan-ilmu-kajian.html
[14]Ibrahim musthofa. Op.cit. hlm: 51-50
Assalamu'alaykum, Maaf ana idzin share Ya ustadz...
BalasHapus