A.
Asal mula manusia
Dipandang dari sudut biologi manusia
hanya merupakan suatu macam makhluk di antara lebih dari sejuta macam makhluk
lain, yang pernah atau masih menduduki alam dunia ini. Pada pertengahan abad
ke- 19 para ahli biologi, dan yang terpenting di antara mereka C. Darwin,
mengumumkan teori mereka tentang proses evolusi biologi. Menurut teori itu
bentuk-bentuk hidup tertua di muka bumi ini, terdiri dari makhluk-makhluk satu
sel yang sangat sederhana seperti misalnya protozoa. Dalam jangka waktu
beratus-ratus juta tahun lamanya timbul dan berkembang bentuk-bentuk hidup
berupa makhluk-makhluk dengan organisasi yang makin lama makin kompleks, dan
pada kala-kala terakhir ini telah berkembang atau berevolusi makhluk-makhluk seperti
kera dan manusia (Koentjaraningrat, 1990: 61).
Jauh sebelum terbitnya buku The Origin of Species (1859) yang
ditulis oleh seorang ahli biologi Charles Darwin, ada tiga dasar pandangan di
kalangan orang Eropa dalam melihat masyarakat dan kebudayaan. Pertama, ada yang
berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang diciptakan
beraneka-macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang
berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan kuat. Oleh karena
itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling tinggi. Cara
berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu
hanya pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu makhluk
induk, dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini merupakan keturunan Nabi
Adam. Sebagian dari mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa
keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah;
sebagai akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah
dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa
sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan
tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi jika pada masa kini
terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Makhluk manusia yang mereka jumpai di Afrika, Asia dan Oceanea merupakan
keturunan Nabi Adam yang nenek- moyang mereka ‘lebih rendah’ dibandingkan
dengan nenek moyang orang- orang Eropa (Hari Poerwanto, 2000:43-44).
Dalam sudut pandang agama (islam),
manusia adalah makhluk yang paling unik dan sebagai karya Tuhan terbesar, dalam
segi penciptaan melalui proses yang begitu rumit dan unik sekali, karena akan
dipersiapkan sebagai pengemban tugas yang amat besar dari Penciptanya, untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia. Dalam Al Quran surat Al-Mu’minun ayat
12-14 dijelaskan, manusia diciptakan Tuhan dari sari pati yang berasal dari
tanah yang kemudian sari pati itu dijadikan air mani, air mani itu kemudian menjadi segumpal darah.
Segumpal darah tersebut kemudian menjadi segumpal daging, dan segumpal daging
itu dijadikan tulang belulang, dan tulang belulang itu kemudian dibungkus
dengan daging, maka jadilah bentuk manusia. Dalam ayat lain, surat Al-Mu’min
ayat 67 dikatakan ” Dialah yang menciptakan kamu sekalian dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya
kamu sekalian sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu
sekalian sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup lagi) sampai
tua, diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)”.
B.
Hakikat manusia
Mengenai masalah hakikat dari hidup
manusia, ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu
hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari.
Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Buddha misalnya dapat
disangka mengkonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola-pola
tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan
untuk dapat memadamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan
segala tingkatan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara).
Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang manusia dapat mengusahakan untuk
menjadikannya suatu hal yang baik dan menggembirakan (Koentjaraningrat, 1990:
191-192).
Hakikat manusia bisa dipandang secara
segmental atau dalam arti parsial. Misalkan manusia dikatakan sebagai homo economicus, homo faber, homo socius,
homo homini lupus, zoon politicon, dan sebagainya. Namun, pandangan
demikian tidak bisa menjelaskan hakikat manusia secara utuh.
Hakikat manusia Indonesia berdasarkan
pancasila sering dikenal dengan sebutan hakikat kodrat monopluralis. Hakikat manusia terdiri atas:
1.
Monodualis
susunan kodrat manusia yang terdiri dari aspek keragaan, meliputi wujud materi
anorganis benda mati, vegetatif, dan animalis; serta aspek kejiwaan meliputi
cipta, rasa, dan karsa.
2.
Monodualis
sifat kodrat manusia terdiri atas segi individu dan segi sosial.
3.
Monodualis
kedudukan kodrat meliputi segi keberadaan manusia sebagai makhluk yang
berkepribadian merdeka (berdiri sendiri) sekaligus juga menunjukkan
keterbatasannya sebagai makhluk Tuhan.
Hakikat manusia harus dipandang
secara utuh. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna karena ia
dibekali akal budi. Manusia memiliki harkat dan derajat yang tinggi. Harkat
adalah nilai, sedangkan derajat adalah kedudukan. Pandangan demikian berlandaskan
pada ajaran agama yang diyakini oleh manusia sendiri. Contoh dalam ajaran agama
Islam Surat At-Tin ayat 4 dikatakan ”Sesungguhnya Kami (Allah) telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(Herimanto, 2008: 22-23)
Makhluk manusia mempunyai naluri
kebudayaan, yang berasal dari naluri sosial. Naluri sosial ini berasal dari
rasarohani. Rasa-rasa rohani itu ialah rasaintelek, rasaetik, rasaseni,
rasaagama, rasadiri, dan rasasosial. Rasasosial merangsang untuk kehidupan
sosial, dan merupakan sumber dari sifat koperasi. Rasadiri merangsang
kompetisi. Rasadiri sebagai bakat (potensi yang bersumber pada biologi)
dibentuk dan dikuasai oleh warisan sosial (kebudayaan), sehingga mematahkan
daya untuk hidup tapa atau hidup sendirian. Manakala rasadiri itu berkembang
dalam lingkungan (pendidikan dan miliu) yang negatif, lahirlah sifat egoismus,
dendam, dan benci. Maka terbentuklah kepribadian dari individu atau kesatuan
sosial, yang bersifat antisosial (biasanya dipendekkan menjadi asosial). Jadi tiap
manusia mempunyai bakat intelek, etik, seni, agama, mementingkan diri dan
sosial. Bakat itu bersifat potensi. Bagaimana jadinya, bentuk wujud dan isi
bakat itu, bergantung pada warisan
sosial, yaitu kebudayaan dalam mana ia
lahir dan hidup. Pendidikan, lingkungan sosial(rohaniah) dan lingkungan
alam(materiil) membentuk seseorang menjadi manusia seperti wujud adanya (Sidi
Gazalba, 1967:12-13).
Setiap manusia dilahirkan sama
dengan harkat dan martabat yang sama pula. Manusia sebagai makhluk individu berupaya
merealisasikan segenap potensi dirinya, baik potensi jasmani maupun potensi
rohani. Namun, manusia sebagai individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Ia
dalam kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya.
Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal
ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat
memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk
kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal
ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu
lainnya.
Sesuai hakikat kodrat manusia yang monopluralis, manusia memiliki dua
hubungan; hubungan antara manusia dan Tuhan, dan hubungan manusia dengan
manusia yang lainnya. Hubungan antara manusia dan Allah melahirkan sistem
ibadah. Ibadah adalah karena Allah, tapi untuk manusia. Ibadah menanamkan
takwa. Ibadah adalah sistem hubungan manusia dengan dirinya sendiri dengan
menghadapkannya kepada Tuhan. Takwa adalah karena diri sendiri, tapi efeknya
adalah manusia lain. Sebabnya: cita, lakuperbuatan takwa individu selalu
memberikan efek kepada manusia lain dalam masyarakat.
Berpangkal dari Allah, Islam
menggariskan hukum perimbangan antara individu dan masyarakat. Kesempurnaan
keseimbangan dapat dicapai, karena ia tidak digantungkan pada fikiran manusia
yang nisbi dan berpihak, tapi kepada “fikiran” Tuhan yang mutlak dan tidak
berpihak.
Cita dan laku perbuatan individu
selalu mengenal masyarakat, karena ia hidup di dalamnya dan kesatuan sosial
adalah fitrah manusia. Fitrah ini adalah takdir Tuhan. Karena itu ia merupakan
bakat manusia. Ketentuan kesatuan sosial itu tersimpul dalam ayat : “Kami
ciptakan kamu berkaum-kaum dan bernasion, supaya kamu saling mengenal”(Q. S.
Al-Hujarat:13)( Sidi Gazalba,1967:14-15).
C. Hubungan
manusia dan kebudayaan
Manusia adalah salah satu makhluk
Tuhan di dunia. Makhluk Tuhan di alam fana ini ada empat macam, yaitu alam,
tumbuhan, binatang, dan manusia. Sifat-sifat yang dimiliki keempat makhluk
Tuhan tersebut sebagai berikut.
1.
Alam memiliki sifat wujud.
2.
Tumbuhan memiliki sifat wujud dan hidup.
3.
Binatang memiliki sifat wujud, hidup, dan
dibekali nafsu.
4.
Manusia memiliki sifat wujud, hidup, dibekali
nafsu, serta akal budi(Herimanto, 2008:18).
Dengan akal budi, manusia tidak
hanya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga mampu
mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi bila
dibanding dengan makhluk lain. Manusia tidak sekedar homo, tetapi human(manusia
sebagai manusiawi). Dengan demikian,manusia memiliki dan mampu mengembangkan
sisi kemanusiaannya.
Dengan akal budi, manusia mampu
menciptakan kebudayaan. Kebudayaan pada dasaranya adalah hasil akal budi
manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia
merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia adalah pencipta kebudayaan
(Herimanto, 2008:21). Karena manusia adalah pencipta kebudayaan maka
manusia adalah makhluk berbudaya.
Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Dengan kebudayaannya,
manusia mampu menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah dunia.
Manusia dan kebudayaan merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah
makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi
kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian
seterusnya(Hari Purwanto, 2000: 50).
Kata “kebudayaan” berasal dari
(bahasa Sansekerta) buddhayah yang
merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya
dengan kebudayaan berasal dari kata latin colere.
Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari
asal arti tersebut, yaitu colere kemudian
culture, diartikan sebagai segala
daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam( Soerjono Soekanto,
1982:150).
Definisi kebudayaan telah banyak
dikemukakan oleh para ahli. Beberapa contoh sebagai berikut.
a.
Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu
yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian
disebut sebagai superorganik.
b.
Andreas Eppink menyatakan bahwa kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, ditambah lagi
dengan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
c.
Edward
B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
d.
Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
e.
Koentjaraningrat
berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan belajar beserta dari hasil budi pekertinya.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya (Herimanto, 2008: 24-25).
DAFTAR PUSTAKA
Gazalba, Sidi, Jakarta: Pustaka Antara
Herimanto. dan
Winarno, 2008. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Poerwanto, H.,
2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam
Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto,
Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Raja Grafindo