Jumat, 23 November 2012

Manusia dan Kebudayaan


A.      Asal mula manusia
       Dipandang dari sudut biologi manusia hanya merupakan suatu macam makhluk di antara lebih dari sejuta macam makhluk lain, yang pernah atau masih menduduki alam dunia ini. Pada pertengahan abad ke- 19 para ahli biologi, dan yang terpenting di antara mereka C. Darwin, mengumumkan teori mereka tentang proses evolusi biologi. Menurut teori itu bentuk-bentuk hidup tertua di muka bumi ini, terdiri dari makhluk-makhluk satu sel yang sangat sederhana seperti misalnya protozoa. Dalam jangka waktu beratus-ratus juta tahun lamanya timbul dan berkembang bentuk-bentuk hidup berupa makhluk-makhluk dengan organisasi yang makin lama makin kompleks, dan pada kala-kala terakhir ini telah berkembang atau berevolusi makhluk-makhluk seperti kera dan manusia (Koentjaraningrat, 1990: 61).
       Jauh sebelum terbitnya buku The Origin of Species (1859) yang ditulis oleh seorang ahli biologi Charles Darwin, ada tiga dasar pandangan di kalangan orang Eropa dalam melihat masyarakat dan kebudayaan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang diciptakan beraneka-macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa yang berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu makhluk induk, dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini merupakan keturunan Nabi Adam. Sebagian dari mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan  tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi jika pada masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda. Makhluk manusia yang mereka jumpai di Afrika, Asia dan Oceanea merupakan keturunan Nabi Adam yang nenek- moyang mereka ‘lebih rendah’ dibandingkan dengan nenek moyang orang- orang Eropa (Hari Poerwanto, 2000:43-44).
       Dalam sudut pandang agama (islam), manusia adalah makhluk yang paling unik dan sebagai karya Tuhan terbesar, dalam segi penciptaan melalui proses yang begitu rumit dan unik sekali, karena akan dipersiapkan sebagai pengemban tugas yang amat besar dari Penciptanya, untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Dalam Al Quran surat Al-Mu’minun ayat 12-14 dijelaskan, manusia diciptakan Tuhan dari sari pati yang berasal dari tanah yang kemudian sari pati itu dijadikan air mani,  air mani itu kemudian menjadi segumpal darah. Segumpal darah tersebut kemudian menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu dijadikan tulang belulang, dan tulang belulang itu kemudian dibungkus dengan daging, maka jadilah bentuk manusia. Dalam ayat lain, surat Al-Mu’min ayat 67 dikatakan ” Dialah yang menciptakan kamu sekalian dari tanah, kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sekalian sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sekalian sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya)”.

B.       Hakikat manusia
       Mengenai masalah hakikat dari hidup manusia, ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Buddha misalnya dapat disangka mengkonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola-pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan untuk dapat memadamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan segala tingkatan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara). Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang manusia dapat mengusahakan untuk menjadikannya suatu hal yang baik dan menggembirakan (Koentjaraningrat, 1990: 191-192).
       Hakikat manusia bisa dipandang secara segmental atau dalam arti parsial. Misalkan manusia dikatakan sebagai homo economicus, homo faber, homo socius, homo homini lupus, zoon politicon, dan sebagainya. Namun, pandangan demikian tidak bisa menjelaskan hakikat manusia secara utuh.
       Hakikat manusia Indonesia berdasarkan pancasila sering dikenal dengan sebutan hakikat kodrat monopluralis. Hakikat manusia terdiri atas:
1.      Monodualis susunan kodrat manusia yang terdiri dari aspek keragaan, meliputi wujud materi anorganis benda mati, vegetatif, dan animalis; serta aspek kejiwaan meliputi cipta, rasa, dan karsa.
2.      Monodualis sifat kodrat manusia terdiri atas segi individu dan segi sosial.
3.      Monodualis kedudukan kodrat meliputi segi keberadaan manusia sebagai makhluk yang berkepribadian merdeka (berdiri sendiri) sekaligus juga menunjukkan keterbatasannya sebagai makhluk Tuhan.

Hakikat manusia harus dipandang secara utuh. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna karena ia dibekali akal budi. Manusia memiliki harkat dan derajat yang tinggi. Harkat adalah nilai, sedangkan derajat adalah kedudukan. Pandangan demikian berlandaskan pada ajaran agama yang diyakini oleh manusia sendiri. Contoh dalam ajaran agama Islam Surat At-Tin ayat 4 dikatakan ”Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(Herimanto, 2008: 22-23)

Makhluk manusia mempunyai naluri kebudayaan, yang berasal dari naluri sosial. Naluri sosial ini berasal dari rasarohani. Rasa-rasa rohani itu ialah rasaintelek, rasaetik, rasaseni, rasaagama, rasadiri, dan rasasosial. Rasasosial merangsang untuk kehidupan sosial, dan merupakan sumber dari sifat koperasi. Rasadiri merangsang kompetisi. Rasadiri sebagai bakat (potensi yang bersumber pada biologi) dibentuk dan dikuasai oleh warisan sosial (kebudayaan), sehingga mematahkan daya untuk hidup tapa atau hidup sendirian. Manakala rasadiri itu berkembang dalam lingkungan (pendidikan dan miliu) yang negatif, lahirlah sifat egoismus, dendam, dan benci. Maka terbentuklah kepribadian dari individu atau kesatuan sosial, yang bersifat antisosial (biasanya dipendekkan menjadi asosial). Jadi tiap manusia mempunyai bakat intelek, etik, seni, agama, mementingkan diri dan sosial. Bakat itu bersifat potensi. Bagaimana jadinya, bentuk wujud dan isi bakat itu,  bergantung pada warisan sosial, yaitu kebudayaan dalam mana  ia lahir dan hidup. Pendidikan, lingkungan sosial(rohaniah) dan lingkungan alam(materiil) membentuk seseorang menjadi manusia seperti wujud adanya (Sidi Gazalba, 1967:12-13).

Setiap manusia dilahirkan sama dengan harkat dan martabat yang sama pula. Manusia sebagai makhluk individu berupaya merealisasikan segenap potensi dirinya, baik potensi jasmani maupun potensi rohani. Namun, manusia sebagai individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Sesuai hakikat kodrat manusia yang monopluralis, manusia memiliki dua hubungan; hubungan antara manusia dan Tuhan, dan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Hubungan antara manusia dan Allah melahirkan sistem ibadah. Ibadah adalah karena Allah, tapi untuk manusia. Ibadah menanamkan takwa. Ibadah adalah sistem hubungan manusia dengan dirinya sendiri dengan menghadapkannya kepada Tuhan. Takwa adalah karena diri sendiri, tapi efeknya adalah manusia lain. Sebabnya: cita, lakuperbuatan takwa individu selalu memberikan efek kepada manusia lain dalam masyarakat.
Berpangkal dari Allah, Islam menggariskan hukum perimbangan antara individu dan masyarakat. Kesempurnaan keseimbangan dapat dicapai, karena ia tidak digantungkan pada fikiran manusia yang nisbi dan berpihak, tapi kepada “fikiran” Tuhan yang mutlak dan tidak berpihak.
Cita dan laku perbuatan individu selalu mengenal masyarakat, karena ia hidup di dalamnya dan kesatuan sosial adalah fitrah manusia. Fitrah ini adalah takdir Tuhan. Karena itu ia merupakan bakat manusia. Ketentuan kesatuan sosial itu tersimpul dalam ayat : “Kami ciptakan kamu berkaum-kaum dan bernasion, supaya kamu saling mengenal”(Q. S. Al-Hujarat:13)( Sidi Gazalba,1967:14-15).

C. Hubungan manusia dan kebudayaan

Manusia adalah salah satu makhluk Tuhan di dunia. Makhluk Tuhan di alam fana ini ada empat macam, yaitu alam, tumbuhan, binatang, dan manusia. Sifat-sifat yang dimiliki keempat makhluk Tuhan tersebut sebagai berikut.
1.     Alam memiliki sifat wujud.
2.     Tumbuhan memiliki sifat wujud dan hidup.
3.     Binatang memiliki sifat wujud, hidup, dan dibekali nafsu.
4.     Manusia memiliki sifat wujud, hidup, dibekali nafsu, serta akal budi(Herimanto, 2008:18).

Dengan akal budi, manusia tidak hanya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga mampu mempertahankan serta meningkatkan derajatnya sebagai makhluk yang tinggi bila dibanding dengan makhluk lain. Manusia tidak sekedar homo, tetapi human(manusia sebagai manusiawi). Dengan demikian,manusia memiliki dan mampu mengembangkan sisi kemanusiaannya.
Dengan akal budi, manusia mampu menciptakan kebudayaan. Kebudayaan pada dasaranya adalah hasil akal budi manusia dalam interaksinya, baik dengan alam maupun manusia lainnya. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Manusia adalah pencipta kebudayaan (Herimanto, 2008:21). Karena manusia adalah pencipta kebudayaan maka manusia  adalah makhluk berbudaya. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Dengan kebudayaannya, manusia mampu menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah dunia.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya(Hari Purwanto, 2000: 50).
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut, yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam( Soerjono Soekanto, 1982:150).
Definisi kebudayaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Beberapa contoh sebagai berikut.
a.     Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.
b.     Andreas Eppink menyatakan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, ditambah lagi dengan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
c.    Edward B. Taylor mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
d.   Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
e.    Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta dari hasil budi pekertinya.

       Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya (Herimanto, 2008: 24-25).
                             

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi, Jakarta: Pustaka Antara
Herimanto. dan Winarno, 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Poerwanto, H., 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Teologi Islam ; Ahlussunnah wal Jama'ah


SUNNI DAN AHLUSSUNNAH  WAL JAMA’AH

A. Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah
            Secara kebahasaan, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata[1].
Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.
Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu.
Ketiga, kata al-jama’ah. Secara etimologis kata al-jama’ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-furqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, al-jama’ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’dzam), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal- Jama’ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin.
            Sedang menurut istilah ulama ‘aqidah, As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. dan para Shahabatnya, baik dalam ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan tercela.
            Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan ber-ittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi SAW. dan para Shahabatnya radliyallahu ‘anhum.
            Al-Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu generasi Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.
            Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-pecah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.
            Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi SAW. dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama[2].

B. Sunni dan Munculnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
            Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunnah saja, atau sunny saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari[3].
            Ahlus Sunnah merupakan madzab terbesar yang dianut oleh umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu jamaah (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bahkan, saat terjadinya perebutan kekuasaan Islam dari Khalifah Ali bin Abu Thalib oleh Muawiyah, kedua Abdullah itu tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam ibadah-ibadah yang ketat (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla. Sikap moderat itu kemudian menjadi ciri dari teologi Ahlu Sunnah wal Jamaah atau Sunni.
            Menurut Nurcholis Madjid, istilah Ahlu Sunnah baru muncul pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far Al-Mansur (137-159 H/754-755 M) dan Harun Al-Rasyid (170-194 H/785-809 M), yakni saat munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang beraliran Asy’ariyah dan Abu Mansur Muhammad (w. 944 M) yang beraliran Maturidiyah. Mereka berdua mengaku berpaham (madzab) Ahlus Sunnah[4].
            Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahl as-Sunnah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah, yang disebarkan pertama kali oleh Washil bin ‘Atha’ (w. 131 H/748 M), dan yang sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Islam[5].
            Ungkapan Ahlussunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazillah- sebagaimana juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazillah.
            Term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah- menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H[6].


[1] Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al- Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jamaa’ah? Jawaban terhadap Aliran Salafi, Surabaya : Khalista, 2009, hlm. 175-176.
[2] Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip-Prinsip ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Bogor : Pustaka At-Taqwa, 2008, hlm. 18-19.
[3] Siradjuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1991, hlm. 30.
[4] Ahmad Sahidin, Aliran-Aliran Dalam Islam, Bandung : Salamadani, 2009, hlm. 47-48.
[5] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!Mungkinkah?Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Tangerang : Lentera Hati, 2007, hlm. 58.
[6] Rosihan Anwar, dkk, Ilmu Kalam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2006, hlm. 119.