Minggu, 07 Oktober 2012

ULAMA HADITS


1. IMAM ABU DAWUD
A. Biografi dan riwayat hidup Abu Dawud.
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman ibn al-asyas ibn ishaq ibn basyir ibn Amr ibn ‘Amran al-Azdi al-Sijistani. Seorang ulama, hufazh, dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, khususnya ilmu fiqh dan hadits1.
Adz-Dzahabi berkata,” Abu Dawud adalah seorang imam dalam hadits, ulama besar dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan hal itu. Dia termasuk murid Ahmad bin Hambal yang terkemuka. Sewaktu mulazamah (bersama) dengan Ahmad bin Hambal, dia banyak bertanya kepada Imam Ahmad tentang permasalahan-permasalahan ushul dan furu’ secara detil.”2
Menurut pengakuannya – yang dikutip ‘Uwaidlah dari tarikh Bagdad- ia lahir tahun 202. Ayahnya adalah Abu Bakar ‘Abdullah ibn Abu Dawud Sulaiman termasuk salah satu huffaz Bagdad. Sementara kakeknya (‘Imran) –menurut Ibn Hajar- merupakan salah seorang tokoh yang terbunuh bersama ‘Ali Ra. dalam perang Siffin.
Al-Hakim menyatakan bahwa Abu Dawud yang lahir di Sijistan tersebut, setelah beranjak remaja ia pergi ke Basrah untuk belajar hadis, ia banyak belajar dari Sulaiman ibn Harb, Abu an-Nu’man, Abu al-Walid. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Syam, Mesir dan juga ke Iraq, selanjutnya bersama Abu Bakar (putranya), ia melanjutkan lawatan ilmiahnya ke beberapa guru hingga di wilayah Nisabur dan kembali lagi ke Sijiistan.
Abu Dawud banyak menerima ilmu dari beberapa guru (ulama’) melalui lawatannya ke berbagai wilayah tersebut diatas, antara lain : Muslim ibn Ibrahim, Sulaiman ibn Harb, Abu ‘Amr al- Haudli, Abu al-Walid at- Tayalisi, Musa ibn Isma’il at-Tabuzaki, Abu Ma’mar al-Muq’id, ‘Abdullah Maslamah al-Qa’nAbu, Musaddad, Syadz ibn Fayyad,Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, Qutaibah ibn Sa’id, Ahmad ibn Yunus, ‘Usman ibn Aibn Syaibah, Ibrahim ibn Musa al-Farra’, ‘Amr ibn ‘Aun, Abu al-Jamahir at-Tanukhi, Hisyam ibn ‘Ammar ad-Dimasyqi, Muhammad ibn as-Sabah ad-DaulAbu, ar-Rubayyi’ibn Nafi’ al-HalAbu, Yazid ibn Mauhib al-Ramli, Abu at-Tahir ibn as-Sarh Ahmad ibn Salih al-Misriyyin, Abu Ja’far an-Nufaili dan masih banyak lagi yang lainnya3.
Adapun murid-muridnya sebagaimana dikatakan Al-Hafizh antara lain adalah; Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Amr Al-Lu’lu’, Abu Ath-Thayib Ahmad bin Ibrahim bin Abdirrahman Al-Asynani, Abu Amr Ahmad bin Ali bin Al-Hasan Al-Bashari, Abu Said Ahmad bin Muhammad bin Ziyad Al-A’rabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdurrazaq bin Dassah, Abul Hasan Ali bin Al-Hasan bin Al-Abd Al-Anshari, Abu Isa Ishaq bin Musa bin Said Ar-Ramali Warraqah dan Abu Usamah Muhammad bin Abdil Malik bin Yazid Ar-Ruwas. Mereka semua adalah perawi Kitab Sunan Abu Dawud dari Abu Dawud4.
Abu Dawud wafat pada usia 73 tahun di Basrah5. Tentang tahun wafatnya, Lutfi as-Shabbagh menjelaskan bahwa Abu Dawud wafat pada tahun 275 H6.

B. KARYA ABU DAWUD
Menginjak usianya yang ke 21 tahun, Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu ke berbagai negara Islam. Diantaranya ke negeri;Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran) , Hrat, Kuffah, Tarsus, Basrah dan Baghdad.
Pasca perjalanan studinya, Abu Dawud berhasil menyusun kitab hadits, yakni Sunan Abi Dawud. Kitab ini, bersama kitab Jami’ al-Turmudzi (karya al-Turmudzi), Musnad Ahmad ibn Hanbal (karya Imam Hanbal), dan Mujtaba al-Nasai (karya Imam al-Nasai), dinilai sebagai kitab standar peringkat pertama, yakni: Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Dalam kitab tersebut, Abu Dawud mengumpulkan 4.800 hadits yang beliau sarikan dari 500.000 hadits yang dihafalnya. Kitab ini disusun berdasarkan sistematika fiqh, yakni memuat hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum. Dan kitab ini menjadi kitab yang paling popular di antara kitab-kitab karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul7.
Ulama Hadits sebelum Abu Dawud, sudah banyak yang menyusun Kitab Jami’, Kitab Musnad dan sebagainya. Tetapi mereka masih mencampuri antara Hadits-hadits hukum dengan Hadits-hadits tentang akhlak, cerita-cerita, berita-berita dan nasihat-nasihat. Abu Dawud adalah yang mempelopori menyusun kitab Hadits yang hanya berisi Hadits-hadits hukum saja. Kitabnya ini terkenal dengan nama Kitab Sunan dan pernah ditunjukkan kepada Ahmad bin Hanbal. Dan kitab tersebut dinyatakan baik oleh Ahmad bin Hanbal8.
Al-Khathib dengan sanadnya dari Abu Bakar bin Dasah, ia berkata, “ Aku pernah mendengar Abu Dawud berkata,”Aku telah menulis dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam 500.000 (lima ratus ribu) hadits. Kemudian aku memilihnya hingga menjadi 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadits. Jumlah hadits pilihanku itu termuat dalam kitabku ini. Dalam kitab ini, aku telah mencantumkan hadits shahih, hadits yang menyerupainya dan hadits yang mendekatinya9. Menurut Abu Dawud, cukup empat hadits bagi seseorang dalam urusan agama, yaitu10 :
1. إنما الأعمال باالنيات
2. من حسن إسلا م المرء تركه ما لا يعنه
3. لا يكون المؤمن مؤمنا حتي يرضى لأخيه ما يرضى لنفسه
الحلال بيِّن و الحرام بيِّن، و بينهما أمور مشتبهات 4

Kitab Sunan Abu Dawud ini mendapat penghargaan tinggi dari kalangan ulama, di antara ulama yang memberikan penilaian tinggi tersebut sebagaimana dikutip as-Sahar an-Nufuri dalam kitab syarah Sunan Abu Dawud adalah:
1) Abu Sa’id al-A’rabi (murid Abu Dawud) mengatakan: Seandainya seseorang tidak memiliki ilmu kecuali mushhaf yang berisi al-Qur’an dan kitab ini, maka kedunya sudah memadai (tanpa membutuhkan kitab lainnya)
2) Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: Ketahuilah bahwa kitab Sunan Abu Dawud ini merupakan karya yang tiada tandingan, dan telah diterima secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan hukum di antara kelompok ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat
3) An-Nawawi dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi kalangan pengkaji fiqh menjadikan kitab Sunan Abu Dawud ini sebagai i’tibar dan memahaminya secara sempurna, karena keagungan hadis hukum di dalamnya yang disusun secara mudah bagi mereka yang hendak melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan lainnya11.

Di dalam pendahuluan kitab Mu’aalimu Al-Sunani, Al-Hafidz Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, “Ketahuilah oleh kamu sekalian, semoga Allah SWT merahmatimu, bahwa kitab Sunan karya Abu Daud adalah kitab yang mulia, tidak ada kitab lain dalam ilmu-ilmu agama yang seperti itu, kitab itu telah diterima oleh semua orang, karenanya ia menjadi hakim antara kelompok-kelompok ulama dari lapisan ahli fiqh terhadap perbedaan madzabnya. Semua ulama telah datang mengambil dari kitab Abu Daud12.

Untuk memahami manhaj Abu Dawud dalam mentashih dan mentad’if hadis dapat dipelajari dari upaya beliau menghimpun hadis sekaligus komentarnya tentang hadis tersebut, apakah sahih ataukah dlai’f. Dalam Risalah Abu Dawud, beliau mensifati kitab sunannya, antara lain:
1. Perlu diketahui bahwa hadis-hadis yang aku sebutkan dalam kitab sunan tersebut adalah hadis-hadis paling Sahih dalam suatu bab yang aku ketahui.
2. Bila aku kemukakan dalam satu bab, dua atau tiga pandangan atau hal, boleh jadi itu merupakan prnyataan tambahan atas beberapa hadis atau meringkas hadis yang panjang, karena seandainya aku tuliskan keseluruhannya( hadis yang panjang itu), aku khawatir sebagaian orang tidak tahu dan juga tidak faham dengan tema fiqh yang tersirat di dalamnya, itulah alasan peringkasan tersebut.
3. Dalam kitab sunanku tidak ada rawi yang disifati dengan Matruk al-Hadis, kalaupun ada hadis yang munkar, aku jelaskan hadis tersebut munkar.
4. Tidak terdapat di dalam kitab Sunanku hadis yang wahn syadid kecuali telah aku berikan keterangan, demikian pula di dalam kitab Sunanku terdapat pula hadis yang tidak sahih sanadnya, dan hadis-hadis yang tidak aku komentari apapun di dalamnya, berarti sahih, bahkan sebagaian ada yang lebih sahih dari sebagaian yang lain.
Dari uraian Abu Dawud tersebut dan kriteria kitab sunan, dapat dipahami bahwa ia menghimpun hadis-hadis dalam kitab Sunannya tersebut yang memuat sunnah Nabi SAW. pada aspek fiqh13.






2. IMAM AT- TIRMIDZI
A. Biografi dan riwayat hidup At- Tirmidzi.
Al-Imam al-Tirmidzi nama lengkapnya ialah Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn Dhahak Al-Bughi al-Tirmidzi. Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya.14
Al- Sulami dibangsakan dengan Bani Sulaym, dari Qabilah ‘Aylan, sedangkan al-Bughi adalah nama desa tempat al-Imam wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan juga disana.
Al-Imam al-Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu Isa, yang ternyata sebagian ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang ditahrijkan oleh ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama Abu Isa yang berarti ayah dari Isa. Seperti yang diketahui bahwa Isa tidak mempunyai ayah. Maka Abu ‘Isa yang dimaksud adalah Al-Imam al-Tirmidzi yang lahir di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang Uzbekistan di kota Tirmidz. Kota itu menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan Tarmiz, demikian pendapat al-Sam’ani yang pernah berkunjung kesana selama dua belas hari. Memang yang masyhur adalah Tirmidz, demikian menurut al-Hafidh al-Dzahabi.
Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti, akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran beliau pada tahun 209 H (824 M), sedangkan Ahmad Muhammad Syakir telah mengutip dari Syaykh Muhammad ‘Abd al-Hadi al-Hindi, bahwa al-Imam lahir pada tahun 207 H. Sedangkan Al-Shalah al-Safadi dalam Nuqth al-Himyan menyatakan beberapa tahun sesudah tahun 200 H, al-Imam al-Tirmidzi dilahirkan, dan Adz-Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 H beliau dilahirkan.
At-Tirmidzi dinisbatkan pada Tirmidz yang terletak di sebelah utara Iran. Imam At-Tirmidzi dinisbatkan pada daerah itu karena dia tumbuh disana.
Para ulama’ pada berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa Imam At-Tirmidzi lahir dalam keadaan buta. Sedangkan berita yang benar adalah dia buta ketika sudah besar, tepatnya setelah melakukan perjalanan mencari ilmu dan menulis kitabnya.
Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita memperhatikan biografi beliau, bahwa beliau memulai aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun. Maka dengan demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode beliau memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi beliau mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak adalah bahwa beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Beliau memiliki kelebihan hafalan yang begitu kuat dan otak encer yang cepat menangkap pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah, satu kisah perjalan beliau meuju Makkah, yaitu; “Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa “dua jilid kitab” yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi yang kubawa bukanah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. aku memohon kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih bersih. Maka dia menegurku: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ maka aku pun memberitahukan kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal semuanya.” Maka syaikh tersebut berkata; ‘bacalah!’. Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun.”
Imam At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya.
Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke daerah Baghdad, sehingga mereka berkata; “kalau sekiranya dia masuk ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al Khathib tidak menyebutkan at Timidzi (masuk ke Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa beliau masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau pernah mendengar di Baghdad dari beberapa ulama, diantaranya adalah; Al Hasan bin Ash-Shabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash shaghani.Dengan ini bisa di prediksi bahwa beliau masuk ke Baghdad setelah meninggalnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama yang di sebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak menyebutkannya, itu tidak berarti bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari kalangan ulama yang tidak di sebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki Baghdad.Setelah pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat.
Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantara mereka adalah:
Al-Khatib al-Baghdadi Qutaibah Ibn Sa’id al-Madani
Ishaq Ibn Rahawayh (Khurasan)
Muhammad Ibn‘Amru As Sawaq al Balkhi (Naysabur)
Ali Ibn al-Madani (Samara)
Mahmud Bin Ghilan
Ismail bin Musa al-Fazari
Imran bin Musa Al-Qazzaz.
8. Muhammad bin Abdil ‘Ala , para perawi yang satu thabaqah dengan mereka dan setelahnya.

Sedangkan diantara murid al-Imam al-Tirmidzi yang termasyhur, adalah:
Abu Bakr Ahmad bin Isma’il Al-Samarqandi
Abu Hamid Ahmad Ibn ‘Abdullah Ibn Dawud Al Marwazi al-Tajir
Ahmad Ibn‘Ali Ibn Hasnuyah Al-Maqari`
Ahmad bin Yusuf An Nasafi
Ahmad bin Hamdawiyah an Nasafi
Al Husain bin Yusuf Al-Farabri
Hammad bin Syair Al-Warraq
Daud bin Nashr bin Suhail Al-Bazdawi
Ar Rabi’ bin Hayyan Al-Bahili
Abdullah bin Nashr saudara Al-Bazdawi, dan lain-lain.


Mengenai tahun wafatnya, baik Al-Dzahabi maupun Al-‘Alamah Malla ‘Ali Al-Qari menyebutkan tahun 279 H,yakni pada usia 70 tahun. Al-Syakir menyebutkan bahwa Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892. Hal ini juga senada yang diampaikan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib dari Al-Hafizh Abu ‘Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang telah melewat ke Khurasan dan lama tinggal disana.
Dalam kitab,al-Ansab dan Al-Tadzkirat al-Huffadh disampaikan berita seperti tersebut diatas. Adanya pendapat bahwa Imam al-Tirmidzi meninggal pada tahun 277 H, sehingga berusia 68 tahun, pendapat itu kurang kuat. ‘Ulama’ terkenal seperti al-Dzahabi, Ahmad Syakir dan Dr.Nuruddin ‘Itir pendapatnya cukup kuat untuk dijadikan pegangan, sebagaimana pernyataan mereka seperti yang telah disebutkan di depan. Hal lain lagi, seorang sejarawan Abu al-Falah ‘Abd al-Hasyyi Ibn al-Imad Al-Hanbali telah menulis peristiwa yang terjadi tahun 279 H, antara lain adalah Al-Imam al-Tirmidzi telah wafat, sebagaimana dikatakan Ibn Khillikan.

B. Karya At- Tirmidzi
Imam Tirmizi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara buku-buku beliau ada yang sampai kepada kita dan ada juga yang tidak sampai. Di antara hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah:
Kitab al-Jami’al-Shahih , terkenal dengan sebutan Sunan al-Tirmidzi yang telah mengumpulkan 3.956 hadits.
Kitab Al-‘Ilal al-Shaghir
Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kitab al-‘Ilal al-Mufrad atau al-‘Ilal Kabir
Kitab al-Asma’ wa al-Shahabah
Kitab al-Atsar al-Mawqufah

Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
Kitab Al-Tarikh.
Kitab Al-Zuhd.
Kitab Al-Asma’ wa al-kuny.


Banyak ditemukan pengakuan terhadap al-Imam al-Tirmidzi dalam usahanya mengembangkan hadits dan fiqh serta ilmu-ilmu agama pada umumnya, seperti berikut ini:
Al-Hafidzh al-‘Alim al-Idris telah berkata, “Ia seorang dari para Imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmuwan hadits, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.”
Ali Ibn Muhammad Ibn al-Atsir seorang ahli sejarah menyatakan seperti dibawah ini:
وأحد الأئمّة الّذين يقتدي بهم في علم الحديث.
Al-Imam al-Tirmidzi salah seorang Imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadits.
Al-Mizzi berkata pula :
وأحد الأئمّة الحفّاظ المميّزين ومن نفع اللّه به المسلمين.
Al-Imam al-Tirmidzi,salah seorang Imam hafidzh, yang mempunyai kelebihan, yang telah Allah manfaatkan bagi kaum muslimin.
Sunan al-Tirmidzi yang terkenal juga dengan al-Jami’ al-shahih itu adalah sumber hadits hasan , tetapi apabila diteliti dengan mendalam mengandung hadits-hadits yang shahih, sebagian menurut syarat Abu Dawud dan al-Nasa’i. Menurut al-Imam al-Tirmidzi bahwa hadits-hadits yang ditulis dalam kitabnya, adalah yang telah diamalkan oleh fuqaha’.


3. IMAM AN- NASA’I
A. Biografi dan riwayat hidup An-Nasa’i.
An-Nasa’iy, nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan An-Nasa’iy15. Nama Al-Nasai diambil dari kata Nasa’, nama sebuah kota di daerah Khurasan, Iran. Ia lahir pada tahun 215 H.
Ia sejak berumur 15 tahun sudah mengadakan perjalanan ke berbagai daerah/negari islam, antara lain: Hijaz, Mesir, dan Syira untuk belajar Hadits kepada Ulama Hadits di daerah-daerah tersebut. Diantara gurunya ialah Qutaibah bin Sa’id dan Ishaq bin Rahawaih. Dan banyak pula ulama hadits yang mengambil dan meriwayatkan Hadits dari padanya, antara lain At-Thabrani dan Al-Thahawi.
Ia pernah tinggal lama di mesir dan banyak ulama yang mengambil Hadits dari padanya serta karangan-karangannya banyak tersebar di Mesir. Pada tahun 302 H ia meninggalkan Mesir dan pergi ke Syira. Ia mendapat fitnah/tekanan di Syira, karena pandangan politiknya berbeda dengan kebanyakan penduduk Syira. Ia menyatakan bahwa Ali lebih utama dari Mu’awiyah. Akhirnya ia pergi ke Makkah dan meninggal di sana pada tahun 303 H dalam usia 89 tahun16.
B. Karya An- Nasa’i
Ia memiliki karya berupa kitab kumpulan sunnah yang terkenal dengan Sunan Nasa’iy. Kitab Sunan Nasa’iy disusun berdasarkan bab-bab ilmu fiqih seperti kumpulan kita-kitab hadits lainnya.
Imam Nasa’iy dalam menyusun kumpulan kitab As-Sunan As-Sughra benar-benar extra hati-hati dan meneliti secermat mungkin terhadap hadits-hadits yang dipilihnya. Oleh sebab itu, banyak ulama berkata: “Sesungguhnya derajat urutan kitab As-Sunan As-Sughra berada di bawah hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim karena dia merupakan kitab kumpulan hadits yang paling sedikit memuat hadits dhaif setelah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Al-Muslim.
Di dalam kitab Sunan An-Nasa’iy As-Sughra ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan sedikit sekali hadits yang dhaif17.


4. IBNU MAJAH.
A. Biografi dan riwayat hidup Ibnu Majah.
Ibnu Majah seorang pemuka ahli hadits, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rib’iy Al-Qazwini 18, nisbat pada wilayah Qazwin, karena wilayah ini tempat kelahiran dan pertumbuhannya. Ibnu Majah lahir pada tahun 207 H (824 M) dan wafat hari selasa bulan Ramadhan pada tahun 273 H (887 M).
Beliau banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah / negeri Islam, antara lain Iraq, Syiria, Hijaz, dan Mesir untuk belajar , khususnya ilmu hadits kepada ulama’ hadits di daerah-daerah tersebut Ia mengambil atau menerima hadits dari ulama’ hadits yang keenam, antara lain Abu Bakar bin Syaibah dan Al-Laits. Dan banyak pula ulama’ hadits besar meriwayatkan hadits dari padanya antara lain: Ahmad bin Ibrahim dan Ibnu Sibawaih.


B. Karya Ibnu Majah.
Ibnu Majah memiliki karya berupa kitab kumpulan hadits as-sunan yang memuat hadits-hadits shahih , hadits-hadits hasan, serta hadits-hadits dhaif. Sebagian ulama’ memberikan komentar terhadap hadits-hadits yang ia riwayatkan secara menyendiri dari kitab-kitab kumpulan hadits-hadits shahih yang enam, sebagai hadits dhaif , tetapi komentar ini tidak dapat diterima.
Imam-Imam seperti, Imam Bukhory, Imam Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi,Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah adalah Imam penyusun kitab-kitab tentang ilmu hadits. Kitab-kitab ini diantaranya adalah Al-Muwaththa’, Musnad Ahmad, dan Al-Kutub As-Sittah.
Ulama’ telah mengakui keluasan ilmunya dalam bidang Hadits. Karangannya banyak antara lain:
Kitab Al-Tarikh
Kitab As-Sunan (yang terkenal)
Kitab Al-Kutub Al-Sittah (Enam kitab Hadits)yang pokok.


Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal. Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’.
Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi. Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.







DAFTAR PUSTAKA
H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005.

Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008.

Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu Fi Ushuli Al Hadisi Al-Syarifi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.


Muhammad Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu, balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003.

H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.

Syaikh Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud , Kairo: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993.


Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007.




1 H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 286.
2 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 532.
3 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 126.
4 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 537-538.
5 Ibid, hlm. 540.
6 Muhammad Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu, balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003. Hlm. 368.
7 H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 287.
8 H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993, hlm. 154.
9 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm 533.
10 Syaikh Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud , Kairo: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993. hlm .121
11 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 132.
12 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu Fi Ushuli Al Hadisi Al-Syarifi,2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 279.
13 Ibid.
14 Ahmad Muhammad Syakir, Al-Jami’ al-Shahih, (al-Qahirah:Al-Halabi,1937), Jilid 1, h. 77.
15 Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007, hlm. 137.
16 H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993, hlm. 153-154.
17 Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007, hlm. 137-138.
18 Muhammad bin Lutfi Ash-Shabbagh, Al Haditsu An Nabawi: Mushtolahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu. Bairut: Al Maktabah Al Islami, 2003.hlm. 382.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar