Aliran
Basrah dan Aliran Kuffah Dalam Ilmu Nahwu
1.a.
Munculnya aliran Basrah
Bashrah
adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana,
mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah
terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Baghdad.
Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang
tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk
pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan
adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat
tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari
tempat-tempatnya yang bersifat natural.
Menilik
masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama,
masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak
peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad.
Kedua,
masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah
dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad
ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub
ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga,
fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini
masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka
itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan
Tsa’lab al-Kufi. Keempat,
fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad,
Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah
para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.
Nahwu
tumbuh dan berkembang di tangan para ulama
Bashrah. Pada awal perkembangannya, nahwu
masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad
menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra.
Pada masa peletakan dan penyusunan yang
terjadi di Bashrah, ada beberapa faktor yang mendorong ulama-ulama di
kota ini melakukannya. Diantaranya adalah
faktor agama, nasionalisme Arab, dan juga faktor sosiologis. Faktor
agama sangat terkait erat dengan keinginan atau tanggung jawab para
ulama untuk menjaga dan menyampaikan al-Qur’an agar terhindar dari
kesalahan. Hal ini didasarkan kenyataan adanya kesalahan baca
beberapa ayat oleh sebagian orang. Sudah tentu mereka adalah
orang-orang non-Arab. Faktor kedua adalah nasionalisme Arab. Faktor
ini berkaitan dengan adanya keinginan orang-orang Arab untuk
memperkuat kedudukan Bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan
bahasa-bahasa lain, disamping adanya kekhawatiran akan kepunahannya.
Sedangkan faktor sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
untuk memahami bahasa al-Qur’an1.
Yang
dimaksud faktor agama di sini terutama
adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn
(salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn
itu sudah muncul pada masa Nabi
Muhammad
masih
hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat
dikatakanbahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa)
dihadapanNabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu:
akha:kum fa
innahu qad dlalla" (Bimbinglah
teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat).
Perkataan
dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan
yang cukup keras dari Nabi. Kata itu
lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat
salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain
dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada
pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat
kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar
membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak
sawthan" 'berhatihatilah dalam
menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama
semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah
mulai menyebar ke negara-negara atau
bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai
terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara
bahasa Arab dan bahasa
bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering
kali berbuat lahn dalam berbahasa
Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan
terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an.
Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai
kebanggaan dan fanatisme yang tinggi
terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini
mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab
dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin
lama semakin mengkristal, sehingga tahap
demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah
pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah2.
Ilmu
nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah
Al- Basriyah (aliran Basrah) berkembang
dengan pesat. Selanjutnya, Al-Tantawi (1973: 69) membagi aliran
Basrah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan,
mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali-(69 H) sampai dengan Al- Mubarrid
(285 H).
Sumber
kajian aliran Basrah dalam menetapkan kaidah nahwu dan kebahasaan
adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b)
bahasa kabilah-kabilah Arab, dan (c) puisi-puisi Arab3.
Menurut
Muhammad al-Thanthawi (108-115), pesatnya aliran
Basrah didukung oleh situasi-situasi berikut:
Pertama,
banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam
tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais
dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad”
di Bashrah. Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab
pada zaman jahiliyah. Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli
sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan. Dari
sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah
nahwunya. Ketiga, posisi
geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di
tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya
Lembah Najd4.
Selain
itu, aliran Basrah dapat
berkembang dengan
sangat pesat
hingga terkenal di kalangan para ulama
Nahwu (nahwiyyin) dikarenakan
begitu gigihnya para pelajar (thalib) dalam memelajari Ilmu Nahwu
yang diajarkan langsung oleh penyusun kitab pertama kali (Abu Aswad
ad-Duali). Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami Ilmu
Nahwu adalah karena negeri Basrah saat itu telah bercampur dengan
penduduk pribumi dengan non pribumi (‘azam) yang layaknya hidup
seperti penduduk asli.
1.b.
Munculnya aliran Kufah
Kufah
terletak di tepian lembah sungai Efrat yang terkenal dengan kesuburan
tanahnya. Di sebelah Timur berbatasan langsung dengan sungai Efrat,
di sebelah Selatan berbatasan dengan Najf, dan di sebelah Barat dan
Utaranya berbatasan langsung dengan padang pasir yang sangat luas dan
membentang hingga ke kota Syam. Kufah didirikan oleh Sa’d ibn Abi
Waqash pada tahun 16-17 H, atau antara 2-3 tahun setelah berdirinya
kota Bashrah.
Nahwu
aliran Kufah terdapat di negeri Kufah yang terkenal sebagai negerinya
para muhadditsin, penyair dan ahli qira’ah. Sehingga, terdapat di
dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira’ah, yaitu Kisai, Ashim
bin Abi an-Nujud, dan Hamzah. Kisai adalah salah satu pendiri madzhab
Kufah. Pendapatnya terhadap suatu masalah gramatika bahasa Arab
selalu menjadi acuan, baik pengikutnya atau yang lain. Ciri khas
madzhab ini adalah lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan
sebuah masalah yang berkaitan dengan gramatika Arab. Mayoritas para
ahli bahasa dan ahli Nahwu membandingkan antara madzhab Kufah dengan
Basrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ruasi
mengikuti madzhab ulama Basrah Abu Amr al-A’la dan Isa bin Umar.
Begitu juga Khalah Muaz bin Muslim al-Hara’i juga memanfaatkan
madzhab keduanya dalam memelajari Nahwu dan Sharaf. Kisai menganut
madzhab Isa bin Umar, Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib yang mereka
semua mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih.
Lepas
dari siapa pendiri madzhab Kufah, ada seorang tokoh Kufah yang paling
berjasa dalam proses ilmiah bahasa Arab, yaitu Khalil bin Ahmad
al-Farahidi (100-170 H). Ia adalah seorang yang sangat luas
pengetahuannya (ilmu hadits, fiqh, bahasa, matematika, logika formal)
dan didukung dengan kecerdasan yang sangat luar biasa. Ilmu Nahwu ia
kembangkan sedemikain rupa, sehingga dengan kata lain bahasa Arab
benar-benar menjadi bahasa ilmiah dan dapat dipelajari secara
metodologis dan sistematis. Khalil tidak saja melengkapi dan
memperluas teori-teori Abu Aswad dan para muri dnya, tetapi secara
spektakuler telah mencetuskan teori baru, yaitu tentang Mubtada’,
Khabar, Kana, Inna dan saudara-saudaranya berserta fungsi dan cara
kerja masing-masing. Ia juga sebagai pembuat kategori atau
klasifikasi kata kerja transitif (al-af’al al-muta’diyah) baik
yang sebagai obyek (maf’ul bih) satu, dua atau beberapa obyek. Ia
juga perumus al-fail dan berbagai jenis al-maf’ul, al-khal,
al-tamyiz, al-tawabi’, al-Nida’ berikut macamnya, kata
benda (tanwin musharif) dan sebaliknya. Semuanya ia definisikan dan
disusun metode-metodenya secara rapi.
Tidak
hanya di situ bentuk inovasi Khalil. Lebih jauh lagi, ia membuat
teori-teori bahasa lain yang kemudian disebut dengan Ilmu Sharf. Ia
kategorikan semua (yang kita kenal sekarang dengan stulasi, ruba’i,
khumasi dan lain-lain). Karena pengetahuan matematika dan musiknya
yang mendalam, ia mampu membuat rumusan berbagai nada bunyi
puisi-puisi Arab dan aturan-aturannya yang kemudian dikenal dengan
ilmu Arud wal Qawafi. Pengaruh matematika pada metode Khalil dalam
penyusunan kata-kata Arab ini telah memengaruhi dan mengilhami ia
untuk mengelola huruf-huruf Hijaiyah. Dari dua puluh delapan huruf
Hijaiyah oleh Khalil dijadikan derivasinya dan dikelompokkan dalam
cabang-cabangnya (dalam pandangan Khalil pada dasarnya kata dalam
bahasa Arab hanya berjumlah dari penggabungan dari lima huruf lebih,
maka dikategorikan sebagai huruf ziddah). Ia juga yang merumuskan
a-ba-ja-dun.
Dengan
kata lain, Khalil lebih mengedepankan qiyas daripada mencari
informasi langsung dari masyarakat (sima’i). Sejak kemunculan
Khalil dengan qiyas-nya itu, sekarang qiyas berperan sangat besar
dalam berbagai perdebatan dalam dunia kebahasan (linguistik) Arab.
Sebenarnya,
berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah
al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya
promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah
al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari
ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil. Aliran
Kufah muncul sebagai suatu aliran tersendiri dalam bidang kajian
nahwu sesudah satu abad lamanya dari lahirnya aliran Basrah. Para
tokoh aliran Kufah tidak ikut bersama-sama dengan para tokoh aliran
Basrah dalam kajian nahwu disebabkan mereka memusatkan perhatiannya
dalam bidang lain, seperti periwayatan puisi dan pengumpulannya,
periwayatan jenis-jenis qira at, di samping perhatian mereka
dalam kajian yang mempunyai hubungan dengan
masalah-masalah fikih (Daif, 1972: 153). Awal munculnya aliran
Kufah sebagai suatu aliran nahwu tersendiri terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ahli sejarah. Menurut Al-Makhzumi (1958: 67-68),
ada yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai oleh Abu Ja far
Al-Ruasidan Mu adh bin Muslim Al-Harra (187 H). Ada juga yang
berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai dengan munculnya Al-Kisai (189
H) dan Al-Farra' (207 H). Sekalipun demikian, Al-Tantawi (1973: 69)
tetap membagi aliran Kufah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya
menjadi lima tingkatan,mulai dari Al-Ru a - si- dan Mu a-dh bin
Muslim Al-Harra- (187 H) sampai Tha lab (291 H). Sumber kajian aliran
Kufah dalammenetapkan kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a)
Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, (c) puisi
puisi Arab, dan (d) nahwu aliran Basrah (Al-Makhzumi,1958:337,
Al-Qifti, 1958: 258, Al-Anbari, 1953: 208, Abd. Hamid, 1976: 202)5.
Ciri
dan perbedaan Aliran Basrah dan Kufah
Dua
aliran utama yakni Basrah dan Kufah keduanya tidak dapat disangkal
sebagai bagian kajian nahwu (gramatika Arab). Seandainya aliran
Bashrah disebut peletak dasar nahwu maka aliran Kufah merupakan mata
rantai dari pengokoh kajian gramatika Arab terutama dengan ciri khas
tertentu yang terkadang merupakan pendekatan yang berdiri diametral
dengan aliran Bashrah.
Secara
sederhana dapat dikatakan perbedaan kedua aliran nahwu tersebut
terletak pada perbedaan metodologi yang digunakan oleh keduanya.
Aliran Bashrah dalam banyak hal lebih berupaya menciptakan kaidah
berdasarkan banyak contoh. Dengan demikian aliran Bashrah menganggap
contoh yang sedikit tidak dapat dijadikan dalil atau paling tidak
mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang syaadz. Berlawanan
dengan aliran Bashrah, kita menemukan aliran Kufah lebih menganggap
bahasa yang benar haruslah sebagaimana diriwayatkan oleh penuturnya
betapapun syadznya riwayat itu.
Perbedaan
antara Nahwu Basrah dan Kufah terletak pada perlakuan data bahasa.
Bersifat prespektif, dalam pengertian kaidah-kaidah Nahwu
disimpulkan dari gejala-gejala umum dari data bahasa yang ada.
Kesimpulan tersebut dijadikan sebagai kaidah. Data-data bahasa yang
menyimpang dari gejala-gejala umum ini diperlakukan sebagai ‘syadz
(tidak dijadikan hujjah). Bersifat deskriptif, dalam
pengertian semua data bahasa yang berasal orang Arab yang bahasanya
masih dianggap murni, dapat dijadikan acuan dalam membuat kaidah
bahasa6.
Di
antara ciri khas madzhab/aliran Basrah
adalah mereka selalu berpegang pada pendapat Jumhur bahasa apabila
terdapat khilafiyah. Jika pendapat menyalahi jumhur, mereka
dita’wilkan atau digolongkan sebagai kelompok yang ganjil (syadz),
dan aliran ini selalu menggunakan sima’i dalam memecahkan suatu
masalah yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab.
Sedangkan
untuk aliran Kufah, secara eksplisit Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan
tiga macam ciri-ciri umum aliran kufah berikut ;
1. keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman
2. keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.3. perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul7.
1. keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman
2. keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.3. perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul7.
1
Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009
2
http://journal.um.ac.id
3
Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA
DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008
Universitas Hasanudin Makasar.
4
Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN
Malang, 2009
5
Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA
DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008
Universitas Hasanudin Makasar.
6
http://kiflipaputungan.wordpre.com
7
http://forumstudinahwu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar