BELAJAR MENGAJAR
A. Definisi
Belajar dan Mengajar
Belajar (dalam bahasa Arab : At-Ta’allum),
menurut Sunaryo dalam bukunya Strategi Belajar-Mengajar Ilmu Pengetahuan
Sosial merupakan suatu kegiatan di mana seseorang membuat atau menghasilkan
suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku
yang positif, artinya untuk mencari kesempurnaan hidup[1].
Psikologi Daya berpendapat ,
bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang dimiliki oleh manusia. Dengan
latihan tersebut, akan terbentuk dan berkembang berbagai daya yang dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, seperti daya ingat, daya pikir, daya rasa, dan
sebagainya. Pandangan baru menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
akibat latihan dan pengamalan[2].
Sementara, mengajar (dalam bahasa
Arab : At- Ta’liim) Hamalik memberikan definisi sebagai berikut:
1.
Mengajar
adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah.
2.
Mengajar
adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan
sekolah
3.
Mengajar
adalah usaha pengorganisasian lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar
bagi siswa
4.
Mengajar
atau mendidik adalah memberikan bimbingan belajar kepada murid
5.
Mengajar
adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik sesuai
dengan tuntutan masyarakat; dan
6.
Mengajar
adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Lebih lanjut, Hamalik
mengemukakan bahwa :
1.
Pengajaran
mempunyai maksud yang sama dengan kegiatan mengajar
2.
Pengajaran
adalah interaksi belajar-mengajar sebagai suatu sistem; dan
3.
Pengajaran
identik dengan pendidikan.
Karakteristik interaksi
belajar-mengajar dalam pendekatan proses belajar-mengajar meliputi dua hal
pokok, yaitu mengajar dan pembelajaran. Mengajar adalah upaya
penyampaian pengetahuan kepada peserta didik yang rumusan konsepnya adalah
sebagai berikut.
1.
Pembelajaran
merupakan persiapan di masa depan, dalam hal ini masa depan kehidupan anak yang
ditentukan orang tua. Oleh karenanya, sekolah berfungsi untuk mempersiapkan
mereka agar mampu hidup dalam masyarakat yang akan datang.
2.
Pembelajaran
merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan
menggunakan metode imposisi, dengan cara menuangkan pengetahuan kepada siswa.
Pada umumnya, guru menggunakan metode “formal step” yang berdasarkan
asas asosiasi dan reproduksi atas tanggapan / kesan. Cara penyampaian
pengetahuan tersebut berdasarkan ajaran
psikologi asosiasi.
3.
Tujuan
utama pembelajaran ialah penguasaan pengetahuan. Pengetahuan bersumber dari
perangkat mata ajaran yang disampaikan di sekolah. Oleh karena itu, mata ajaran
tersebut meliputi berbagai pengalaman yang berasal dari orang tua di masa lalu,
yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang diuraikan, disusun, serta dimuat
dalam buku mata pelajaran dari berbagai referensi.
4.
Guru
dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa . Peran guru dalam hal ini adalah
sangat dominan. Guru yang menentukan segala hal yang dianggap tepat untuk
disajikan kepada para siswanya. Guru juga dipandang sebagai orang yang serba
mengetahui dan serba pandai. Oleh karenanya, guru mempunyai kekuasaan dalam
mempersiapkan tugas, memberikan latihan, dan menentukan peraturan maupun
kemajuan tiap siswa.
5.
Siswa
selalu bersikap dan bertindak pasif. Siswa dianggap sebagai tong kosong yang
belum mengetahui apapun. Siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh guru,
bersikap sebagai pendengar, pengikut, dan pelaksana tugas. Adapun kebutuhan,
minat, tujuan, abilitas, dan hal lain yang dimiliki siswa diabaikan dan tidak
mendapat perhatian guru.
6.
Kegiatan
pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas. Kegiatan pengajaran hanya
dilaksanakan sebatas ruangan kelas saja, sedangkan pengajaran di luar kelas
tidak pernah dilakukan.
7.
Mengajar
adalah pewarisan kebudayaan pada generasi muda melalui lembaga pendidikan
sekolah. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa pengajaran bertujuan
membentuk manusia berbudaya, yaitu manusia yang mampu hidup dalam pola
kebudayaan masyarakatnya.
8.
Pengajaran
dapat diartikan sebagai suatu proses pewarisan yang dilakukan melalui berbagai
prosedur, yaitu pengajaran, media, hubungan pribadi, dan sebagainya.
9.
Bahan
pengajaran bersumber dari kebudayaan, yang merupakan kumpulan warisan sosial
dalam masyarakat. Oleh karenanya, kebudayaan dan hasil kebudayaan yang
diwariskan kepada siswanya umumnya merupakan benda dan nonbenda, hal yang
tertulis atau lisan, dan berbagai bentuk tingkah laku, norma, dan lain
sebagainya.
10. Siswa diposisikan sebagai generasi muda yang merupakan ahli waris
kebudayaan. Kebudayaan yang diwariskan kepada siswa tersebut harus dikuasai dan
dikembangkan, sehingga mereka menjadi warga masyarakat yang lebih berbudaya.
Siswa juga diharapkan mampu memanfaatkan teknologi sebagai aspek kebudayaan
untuk kehidupannya serta mampu mengadakan penemuan baru dan mengembangkan
kebudayaan yang telah ada.
11. Pengajaran adalah upaya pengorganisasian lingkungan untuk
menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. Lingkungan sosial sering kali
lebih memengaruhi tingkah laku seseorang, oleh karenanya melalui interaksi
antara individu dan lingkungannya, siswa diharapkan akan memperoleh berbagai
pengalaman yang memengaruhi pengembangan tingkah lakunya. Dalam konteks ini,
sekolah berfungsi menyediakan lingkungan yang dibutuhkan bagi perkembangan
tingkah laku siswa, antara lain, dengan menyiapkan program belajar, bahan
pengajaran, metode mengajar, alat belajar, dan sebagainya.
12. Peserta didik diibaratkan sebagai organisasi yang hidup. Guru
berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi, agar aktivitas yang dilakukan
menuju arah yang diinginkan. Oleh karenanya, guru harus menjadi organisator
belajar bagi siswa yang potensial tersebut, sehingga tujuan pengajaran yang
optimal akan tercapai[3].
Untuk mengoptimalkan antara belajar
dan mengajar tersebut, terdapat metode pembelajaran yang ideal, yang disebut
dengan Pembelajaran Kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep
belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengeahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja. Pembelajaran
kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan
beberapa benuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan[4].
Sounders menjelaskan bahwa
pembelajaran kontekstual difokuskan pada REACT (Relating: belajar dalam
konteks pengalaman hidup; Experiencing: belajar dalam konteks pencarian
dan penemuan; Applying : belajar ketika pengetahuan diperkenalkan dalam
konteks penggunaannya; Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi
interpersonal dan saling berbagi; Transfering: belajar penggunaan
pengetahuan dalam suatu konteks atau situasi baru. Penjelasan masing-masing
prinsip pembelajaran kontekstual tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Keterkaitan,
relevansi (relating)
Proses
pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan
(prerequisite konwladge) yang telah ada pada diri siswa (relevansi antarfaktor
internal seperti bekal pengetahuan, keterampilan, bakat, minat, dengan faktor
eksternal seperti ekspose media dan pembelajaran oleh guru dan lingkungan
luar), dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata seperti
manfaat untuk bekal bekerja di kemudian hari.
b.
Pengalaman
langsung (experiencing)
Dalam proses
pembelajaran, siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan
eksplorasi, penemuan (discovery), inventori, investigasi, penelitian, dan
sebagainya. Experiencing dipandang sebagai jantung pembelajaran kontekstual.
Proses pembelajaran akan berlangsung cepat jika siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan
sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain
secara aktif. Untuk mendorong daya tarik dan motivasi, sangatlah bermanfaat
penggunaan strategi pembelajaran dan media seperti audio, video, membaca, dan
menelaah buku teks, dan sebagainya.
c.
Aplikasi
(Applying)
Menerapkan
fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks
yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih dari sekedar hafal.
Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk diterapkan
atau digunakan pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan (use) fakta
konsep, prinsip atau prosedur atau “pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk
menggunakan (use)”.
Kemampuan siswa
menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat juga dapat
mendorong siswa untuk memikirkan karir dan pekerjaan di masa depan yang
mereka minati. Dalam kegiatan
pembelajaran di kelas, pengenalan dunia kerja ini dilaksanakan dengan
menggunakan buku teks, video, laboratorium, dan bila memungkinkan
ditindaklanjuti dengan memberikan pengalaman langsung melalui kegiatan
karyawisata, praktik kerja lapangan, magang, dan sebagainya.
d.
Kerja
sama (Cooperating)
Kerja sama
dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan,
komunikasi interaktif antarsesama siswa, antarsiswa dengan guru, antarsiswa dengan
nara sumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan
strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja
sama tidak hanya membantu siswa belajar menguasai materi pembelajaran, tetapi
juga sekaligus memberikan wawasan pada dunia nyata bahwa untuk menyelesaikan
suatu tugas akan lebih berhasil jika dilakukan secara bersama-sama atau kerja
sama dalam bentuk tim kerja.
e.
Alih
pengetahuan (transferring)
Pembelajaran
kontekstual menekankan pada kemampuan siswa untuk mentransfer pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain. Dengan kata
lain, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak sekadar untuk dihafal,
tetapi dapat digunakan atau dialihkan pada situasi dan kondisi lain. Kemampuan
siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk memecahkan
masalah-masalah baru merupakan penguasaan strategi kognitif[5].
B. Ciri, Unsur , Karakteristik dan Proses Belajar
Komalasari mengemukakan,
ciri-ciri kegiatan belajar yaitu :
a.
Belajar
adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri seseorang, baik
secara aktual maupun potensial.
b.
Perubahan
yang didapat sesungguhnya adalah kemampuan yang baru dan ditempuh dalam jangka
waktu yang lama.
c.
Perubahan
terjadi karena ada usaha dari dalam diri setiap individu[6].
Terkait karakteristik belajar, Hamalik
mengemukakan beberapa karakteristik belajar yang harus dikenali guru dalam
membelajarkan siswa, antara lain:
1.
Kebermaknaan, dalam hal ini belajar harus lebih bermakna bagi siswa;
2.
Prasyarat, dalam arti bahan yang dipelajari siswa harus terkait dengan
pengalaman prasayarat yang dimiliki siswa;
3.
Model
belajar, dalam hal ini
model yang disajikan sesuai dengan model perilaku yang dapat diamati dan ditiru
siswa;
4.
Komunikasi
Terbuka, dalam artian
penyajian bahan belajar ditata agar pesan-pesan yang disampaikan guru bersifat
terbuka terhadap pendapat siswa;
5.
Daya
tarik, dalam artian
bahan belajarmemiliki daya tarik penyajian;
6.
Aktif
dalam latihan, artinya
berusaha mengaktifkan peran siswa dalam latihan atau praktik;
7.
Latihan
yang Terbagi, dalam artian
proses latihan dilaksanakan dengan cara membagi kepada siswa dalam jangka waktu
yang pendek; dan
8.
Tekanan
Instruksional, yang
diusahakan dengan menekankan kewajiban belajar yang dimulai dari yang kuat,
tetapi lambat laun semakin melemah[7].
C. Faktor-Faktor Belajar
Belajar dan pembelajaran merupakan
dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan belajar
dan pembelajaran dapat digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar dan
pembelajaran memerlukan masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan
pengalaman belajar dalam proses belajar mengajar (learning teaching process)
dengan harapan berubah menjadi keluaran (output) dengan kompetensi
tertentu. Selain itu, proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi pula oleh
faktor lingkungan yang menjadi masukan lingkungan (environment input)
dan faktor instrumental (instrumental input) yang merupakan faktor yang
secara sengaja dirancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan keluaran
yang ingin dihasilkan. Secara skematik uraian di atas dapat digambarkan sebagai
berikut:
Faktor-faktor pendukung proses
belajar dan pembelajaran di atas tidak dapat dipisahkan sehingga akan
menghasilkan output yang diinginkan. Jika diuraikan lebih lanjut maka unsur
environment input (masukan dari lingkungan) dapat berupa alam dan sosial
budaya, sedangkan instrumental berupa kurikulum, program, sumber daya
guru, dan fasilitas pendidikan. Raw input merupakan kondisi siswa,
seperti unsur fisiologis secara umum serta kondisi pancaindera. Sedangkan unsur
psikologis berupa minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif[8].
D. Teori Belajar
Definisi yang ada tentang belajar
mengajar tak terlepas dari adanya teori-teori belajar. Menurut Morris L. Bigge
dan Maurice P. Hunt ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori
disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.
Menurut rumpun teori disiplin mental
dari kelahirannya atau secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi
tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
Ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental
theistik, disiplin mental humanistik, naturalisme, dan apersepsi.
Rumpun atau kelompok teori belajar
yang kedua adalah Behaviorisme yang biasa juga disebut S-R Stimulus –Respons.
Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak
memiliki / membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak
ditentukan faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah
lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat; lingkungan manusia, alam,
budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu
yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat
dilihat, diamati.
Rumpun ketiga adalah Cognitive
Gestalt Field. Teori ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut
mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru
atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara
baru dalam mengggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk
struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan
yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight
merupakan citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan[9].
[1] Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi,
PT Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 2
[2] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2007, hal. 106
[3] Ibid., hal. 25 - 27
[4] Kokom Komalasari, op. Cit., hal. 6
[5] Ibid, hal. 9-10
[6] Ibid, hal 2
[7] Oemar Hamalik, op. Cit., hal. 27-28
[8] Kokom Komalasari, op. Cit., hal. 4-5
[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 53-55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar