ULAMA HADITS
1.
IMAM ABU DAWUD
A.
Biografi dan riwayat hidup Abu Dawud.
Nama
lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman ibn al-asyas ibn ishaq
ibn basyir ibn Amr ibn ‘Amran al-Azdi al-Sijistani. Seorang ulama,
hufazh, dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, khususnya
ilmu fiqh dan hadits1.
Adz-Dzahabi
berkata,” Abu Dawud adalah seorang imam dalam hadits, ulama besar
dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan hal itu.
Dia termasuk murid Ahmad bin Hambal yang terkemuka. Sewaktu
mulazamah (bersama) dengan Ahmad bin Hambal, dia banyak bertanya
kepada Imam Ahmad tentang permasalahan-permasalahan ushul dan
furu’ secara detil.”2
Menurut
pengakuannya – yang dikutip ‘Uwaidlah dari tarikh Bagdad- ia
lahir tahun 202. Ayahnya adalah Abu Bakar ‘Abdullah ibn Abu Dawud
Sulaiman termasuk salah satu huffaz Bagdad. Sementara kakeknya
(‘Imran) –menurut Ibn Hajar- merupakan salah seorang tokoh yang
terbunuh bersama ‘Ali Ra. dalam perang Siffin.
Al-Hakim
menyatakan bahwa Abu Dawud yang lahir di Sijistan tersebut, setelah
beranjak remaja ia pergi ke Basrah untuk belajar hadis, ia banyak
belajar dari Sulaiman ibn Harb, Abu an-Nu’man, Abu al-Walid.
Kemudian ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Syam, Mesir dan juga
ke Iraq, selanjutnya bersama Abu Bakar (putranya), ia melanjutkan
lawatan ilmiahnya ke beberapa guru hingga di wilayah Nisabur dan
kembali lagi ke Sijiistan.
Abu
Dawud banyak menerima ilmu dari beberapa guru (ulama’) melalui
lawatannya ke berbagai wilayah tersebut diatas, antara lain : Muslim
ibn Ibrahim, Sulaiman ibn Harb, Abu ‘Amr al- Haudli, Abu al-Walid
at- Tayalisi, Musa ibn Isma’il at-Tabuzaki, Abu Ma’mar al-Muq’id,
‘Abdullah Maslamah al-Qa’nAbu, Musaddad, Syadz ibn Fayyad,Yahya
ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, Qutaibah ibn Sa’id, Ahmad ibn Yunus,
‘Usman ibn Aibn Syaibah, Ibrahim ibn Musa al-Farra’, ‘Amr ibn
‘Aun, Abu al-Jamahir at-Tanukhi, Hisyam ibn ‘Ammar ad-Dimasyqi,
Muhammad ibn as-Sabah ad-DaulAbu, ar-Rubayyi’ibn Nafi’ al-HalAbu,
Yazid ibn Mauhib al-Ramli, Abu at-Tahir ibn as-Sarh Ahmad ibn Salih
al-Misriyyin, Abu Ja’far an-Nufaili dan masih banyak lagi yang
lainnya3.
Adapun
murid-muridnya sebagaimana dikatakan Al-Hafizh antara lain adalah;
Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Amr Al-Lu’lu’, Abu Ath-Thayib
Ahmad bin Ibrahim bin Abdirrahman
Al-Asynani, Abu Amr Ahmad bin Ali bin Al-Hasan Al-Bashari, Abu Said
Ahmad bin Muhammad bin Ziyad Al-A’rabi, Abu Bakar Muhammad bin
Abdurrazaq bin Dassah, Abul Hasan Ali bin Al-Hasan bin Al-Abd
Al-Anshari, Abu Isa Ishaq bin Musa bin Said Ar-Ramali Warraqah dan
Abu Usamah Muhammad bin Abdil Malik bin Yazid Ar-Ruwas. Mereka semua
adalah perawi Kitab Sunan Abu Dawud dari Abu Dawud4.
Abu
Dawud wafat pada usia 73 tahun di Basrah5.
Tentang tahun wafatnya, Lutfi as-Shabbagh menjelaskan bahwa Abu Dawud
wafat pada tahun 275 H6.
B.
KARYA ABU DAWUD
Menginjak
usianya yang ke 21 tahun, Abu Dawud melakukan perjalanan untuk
mencari ilmu ke berbagai negara Islam. Diantaranya ke negeri;Hijaz,
Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran) , Hrat, Kuffah,
Tarsus, Basrah dan Baghdad.
Pasca
perjalanan studinya, Abu Dawud berhasil menyusun kitab hadits, yakni
Sunan Abi Dawud. Kitab ini, bersama kitab Jami’ al-Turmudzi
(karya al-Turmudzi), Musnad Ahmad ibn Hanbal (karya Imam
Hanbal), dan Mujtaba al-Nasai (karya Imam al-Nasai), dinilai sebagai
kitab standar peringkat pertama, yakni: Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.
Dalam
kitab tersebut, Abu Dawud mengumpulkan 4.800 hadits yang beliau
sarikan dari 500.000 hadits yang dihafalnya. Kitab ini disusun
berdasarkan sistematika fiqh, yakni memuat hadits-hadits yang
berkaitan dengan hukum. Dan kitab ini menjadi kitab yang paling
popular di antara kitab-kitab karangan Abu Dawud yang berjumlah 20
judul7.
Ulama
Hadits sebelum Abu Dawud, sudah banyak yang menyusun Kitab Jami’,
Kitab Musnad dan sebagainya. Tetapi mereka masih mencampuri antara
Hadits-hadits hukum dengan Hadits-hadits tentang akhlak,
cerita-cerita, berita-berita dan nasihat-nasihat. Abu Dawud adalah
yang mempelopori menyusun kitab Hadits yang hanya berisi
Hadits-hadits hukum saja. Kitabnya ini terkenal dengan nama Kitab
Sunan dan pernah ditunjukkan kepada Ahmad bin Hanbal. Dan kitab
tersebut dinyatakan baik oleh Ahmad bin Hanbal8.
Al-Khathib
dengan sanadnya dari Abu Bakar bin Dasah, ia berkata, “ Aku pernah
mendengar Abu Dawud berkata,”Aku telah menulis dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam 500.000 (lima ratus ribu) hadits.
Kemudian aku memilihnya hingga menjadi 4.800 (empat ribu delapan
ratus) hadits. Jumlah hadits pilihanku itu termuat dalam kitabku ini.
Dalam kitab ini, aku telah mencantumkan hadits shahih, hadits yang
menyerupainya dan hadits yang mendekatinya9.
Menurut Abu Dawud, cukup empat hadits bagi seseorang dalam urusan
agama, yaitu10
:
1.
إنما
الأعمال باالنيات
2.
من
حسن إسلا م المرء تركه ما لا يعنه
3.
لا
يكون المؤمن مؤمنا حتي يرضى لأخيه ما يرضى
لنفسه
الحلال
بيِّن و الحرام بيِّن، و بينهما أمور
مشتبهات 4
Kitab
Sunan Abu Dawud ini mendapat penghargaan tinggi dari kalangan ulama,
di antara ulama yang memberikan penilaian tinggi tersebut sebagaimana
dikutip as-Sahar an-Nufuri dalam kitab syarah Sunan Abu Dawud adalah:
1)
Abu Sa’id al-A’rabi (murid Abu Dawud) mengatakan: Seandainya
seseorang tidak memiliki ilmu kecuali mushhaf yang berisi al-Qur’an
dan kitab ini, maka kedunya sudah memadai (tanpa membutuhkan kitab
lainnya)
2)
Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: Ketahuilah bahwa kitab Sunan Abu
Dawud ini merupakan karya yang tiada tandingan, dan telah diterima
secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan hukum di antara
kelompok ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat
3)
An-Nawawi dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi
kalangan pengkaji fiqh menjadikan kitab Sunan Abu Dawud ini sebagai
i’tibar dan memahaminya secara sempurna, karena keagungan hadis
hukum di dalamnya yang disusun secara mudah bagi mereka yang hendak
melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan lainnya11.
Di
dalam pendahuluan kitab Mu’aalimu Al-Sunani, Al-Hafidz Abu
Sulaiman Al-Khattabi berkata, “Ketahuilah oleh kamu sekalian,
semoga Allah SWT merahmatimu, bahwa kitab Sunan karya Abu Daud adalah
kitab yang mulia, tidak ada kitab lain dalam ilmu-ilmu agama yang
seperti itu, kitab itu telah diterima oleh semua orang, karenanya ia
menjadi hakim antara kelompok-kelompok ulama dari lapisan ahli fiqh
terhadap perbedaan madzabnya. Semua ulama telah datang mengambil dari
kitab Abu Daud12.
Untuk
memahami manhaj Abu Dawud dalam mentashih dan mentad’if hadis dapat
dipelajari dari upaya beliau menghimpun hadis sekaligus komentarnya
tentang hadis tersebut, apakah sahih ataukah dlai’f. Dalam Risalah
Abu Dawud, beliau mensifati kitab sunannya, antara lain:
1.
Perlu diketahui bahwa hadis-hadis yang aku sebutkan dalam kitab sunan
tersebut adalah hadis-hadis paling Sahih dalam suatu bab yang aku
ketahui.
2.
Bila aku kemukakan dalam satu bab, dua atau tiga pandangan atau hal,
boleh jadi itu merupakan prnyataan tambahan atas beberapa hadis atau
meringkas hadis yang panjang, karena seandainya aku tuliskan
keseluruhannya( hadis yang panjang itu), aku khawatir sebagaian orang
tidak tahu dan juga tidak faham dengan tema fiqh yang tersirat di
dalamnya, itulah alasan peringkasan tersebut.
3.
Dalam kitab sunanku tidak ada rawi yang disifati dengan Matruk
al-Hadis, kalaupun ada hadis yang munkar, aku jelaskan hadis
tersebut munkar.
4.
Tidak terdapat di dalam kitab Sunanku hadis yang wahn syadid kecuali
telah aku berikan keterangan, demikian pula di dalam kitab Sunanku
terdapat pula hadis yang tidak sahih sanadnya, dan hadis-hadis yang
tidak aku komentari apapun di dalamnya, berarti sahih, bahkan
sebagaian ada yang lebih sahih dari sebagaian yang lain.
Dari
uraian Abu Dawud tersebut dan kriteria kitab sunan, dapat dipahami
bahwa ia menghimpun hadis-hadis dalam kitab Sunannya tersebut yang
memuat sunnah Nabi SAW. pada aspek fiqh13.
2.
IMAM AT- TIRMIDZI
A.
Biografi dan riwayat hidup At- Tirmidzi.
Al-Imam
al-Tirmidzi nama lengkapnya ialah Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn
Tsawrah Ibn Musa Ibn Dhahak Al-Bughi al-Tirmidzi. Ahmad Muhammad
Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami
kebutaan di masa tuanya.14
Al-
Sulami dibangsakan dengan Bani Sulaym, dari Qabilah ‘Aylan,
sedangkan al-Bughi adalah nama desa tempat al-Imam wafat, yakni di
Bugh dan dimakamkan juga disana.
Al-Imam
al-Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu Isa, yang ternyata sebagian
ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang
ditahrijkan oleh ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan
menggunakan sebutan atau nama Abu Isa yang berarti ayah dari Isa.
Seperti yang diketahui bahwa Isa tidak mempunyai ayah. Maka Abu ‘Isa
yang dimaksud adalah Al-Imam al-Tirmidzi yang lahir di tepi selatan
sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang Uzbekistan di kota Tirmidz.
Kota itu menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan Tarmiz, demikian
pendapat al-Sam’ani yang pernah berkunjung kesana selama dua belas
hari. Memang yang masyhur adalah Tirmidz, demikian menurut al-Hafidh
al-Dzahabi.
Para
pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti,
akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran beliau
pada tahun 209 H (824 M), sedangkan Ahmad Muhammad Syakir telah
mengutip dari Syaykh Muhammad ‘Abd al-Hadi al-Hindi, bahwa al-Imam
lahir pada tahun 207 H. Sedangkan Al-Shalah al-Safadi dalam Nuqth
al-Himyan menyatakan beberapa tahun sesudah tahun 200 H, al-Imam
al-Tirmidzi dilahirkan, dan Adz-Dzahabi berpendapat dalam kisaran
tahun 210 H beliau dilahirkan.
At-Tirmidzi
dinisbatkan pada Tirmidz yang terletak di sebelah utara Iran. Imam
At-Tirmidzi dinisbatkan pada daerah itu karena dia tumbuh disana.
Para
ulama’ pada berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa Imam
At-Tirmidzi lahir dalam keadaan buta. Sedangkan berita yang benar
adalah dia buta ketika sudah besar, tepatnya setelah melakukan
perjalanan mencari ilmu dan menulis kitabnya.
Berbagai
literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan
imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika
kita memperhatikan biografi beliau, bahwa beliau memulai aktifitas
mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun. Maka dengan
demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari
sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode
beliau memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi beliau
mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak
adalah bahwa beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Beliau
memiliki kelebihan hafalan yang begitu kuat dan otak encer yang cepat
menangkap pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan
kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah, satu kisah perjalan
beliau meuju Makkah, yaitu; “Pada saat aku dalam perjalanan menuju
Makkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits
yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syaikh tersebut
berpapasan dengan kami. Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku
mengira bahwa “dua jilid kitab” yang aku tulis itu bersamaku.
Tetapi yang kubawa bukanah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid
lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. aku memohon
kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan
permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya
kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat
bahwa kertas yang kupegang putih bersih. Maka dia menegurku:
‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ maka aku pun memberitahukan
kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal
semuanya.” Maka syaikh tersebut berkata; ‘bacalah!’. Maka aku
pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku,
maka dia bertanya: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang
kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia
meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh
buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’
Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu
huruf pun.”
Imam
At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan
Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu
dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat mengumpulkan
hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak
masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau
riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui
perantara, kalau sekiranya beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan
Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama
tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya.
Para
pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke
daerah Baghdad, sehingga mereka berkata; “kalau sekiranya dia masuk
ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al
Khathib tidak menyebutkan at Timidzi (masuk ke Baghdad) di dalam
tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa
beliau masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau
pernah mendengar di Baghdad dari beberapa ulama, diantaranya adalah;
Al Hasan bin Ash-Shabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq
Ash shaghani.Dengan ini bisa di prediksi bahwa beliau masuk ke
Baghdad setelah meninggalnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama
yang di sebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah imam Ahmad.
Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak menyebutkannya, itu tidak
berarti bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali,
sebab banyak sekali dari kalangan ulama yang tidak di sebutkan Al
Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki Baghdad.Setelah
pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian
beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara
beberapa saat.
Imam
at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama
kenamaan. Diantara mereka adalah:
Al-Khatib
al-Baghdadi Qutaibah Ibn Sa’id al-Madani
Ishaq
Ibn Rahawayh (Khurasan)
Muhammad
Ibn‘Amru As Sawaq al Balkhi (Naysabur)
Ali
Ibn al-Madani (Samara)
Mahmud
Bin Ghilan
Ismail
bin Musa al-Fazari
Imran
bin Musa Al-Qazzaz.
8. Muhammad bin
Abdil ‘Ala , para perawi yang satu thabaqah dengan mereka dan
setelahnya.
Sedangkan
diantara murid al-Imam al-Tirmidzi yang termasyhur, adalah:
Abu
Bakr Ahmad bin Isma’il Al-Samarqandi
Abu
Hamid Ahmad Ibn ‘Abdullah Ibn Dawud Al Marwazi al-Tajir
Ahmad
Ibn‘Ali Ibn Hasnuyah Al-Maqari`
Ahmad
bin Yusuf An Nasafi
Ahmad
bin Hamdawiyah an Nasafi
Al
Husain bin Yusuf Al-Farabri
Hammad
bin Syair Al-Warraq
Daud
bin Nashr bin Suhail Al-Bazdawi
Ar
Rabi’ bin Hayyan Al-Bahili
Abdullah
bin Nashr saudara Al-Bazdawi, dan lain-lain.
Mengenai
tahun wafatnya, baik Al-Dzahabi maupun Al-‘Alamah Malla ‘Ali
Al-Qari menyebutkan tahun 279 H,yakni pada usia 70 tahun. Al-Syakir
menyebutkan bahwa Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab
tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892. Hal ini juga senada
yang diampaikan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib dari
Al-Hafizh Abu ‘Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri,
sebagai ahli sejarah yang telah melewat ke Khurasan dan lama tinggal
disana.
Dalam
kitab,al-Ansab dan Al-Tadzkirat
al-Huffadh disampaikan berita
seperti tersebut diatas. Adanya pendapat bahwa Imam al-Tirmidzi
meninggal pada tahun 277 H, sehingga berusia 68 tahun, pendapat itu
kurang kuat. ‘Ulama’ terkenal seperti al-Dzahabi, Ahmad Syakir
dan Dr.Nuruddin ‘Itir pendapatnya cukup kuat untuk dijadikan
pegangan, sebagaimana pernyataan mereka seperti yang telah disebutkan
di depan. Hal lain lagi, seorang sejarawan Abu al-Falah ‘Abd
al-Hasyyi Ibn al-Imad Al-Hanbali telah menulis peristiwa yang terjadi
tahun 279 H, antara lain adalah Al-Imam al-Tirmidzi telah wafat,
sebagaimana dikatakan Ibn Khillikan.
B.
Karya At- Tirmidzi
Imam
Tirmizi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara
buku-buku beliau ada yang sampai kepada kita dan ada juga yang tidak
sampai. Di antara hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah:
Kitab
al-Jami’al-Shahih , terkenal dengan sebutan Sunan
al-Tirmidzi yang telah mengumpulkan 3.956 hadits.
Kitab
Al-‘Ilal al-Shaghir
Kitab
Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
Kitab
Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kitab
al-‘Ilal al-Mufrad atau al-‘Ilal Kabir
Kitab
al-Asma’ wa al-Shahabah
Kitab
al-Atsar al-Mawqufah
Adapun
karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
Kitab
Al-Tarikh.
Kitab
Al-Zuhd.
Kitab
Al-Asma’ wa al-kuny.
Banyak
ditemukan pengakuan terhadap al-Imam al-Tirmidzi dalam usahanya
mengembangkan hadits dan fiqh serta ilmu-ilmu agama pada umumnya,
seperti berikut ini:
Al-Hafidzh
al-‘Alim al-Idris telah berkata, “Ia seorang dari para Imam yang
memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmuwan hadits, mengarang
al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang alim yang
meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.”
‘Ali
Ibn Muhammad Ibn al-Atsir seorang ahli sejarah menyatakan seperti
dibawah ini:
وأحد
الأئمّة الّذين يقتدي بهم في علم الحديث.
Al-Imam
al-Tirmidzi salah seorang Imam yang memberi tuntunan kepada mereka
dalam ilmu hadits.
Al-Mizzi
berkata pula :
وأحد
الأئمّة الحفّاظ المميّزين ومن نفع اللّه
به المسلمين.
Al-Imam
al-Tirmidzi,salah seorang Imam hafidzh, yang mempunyai kelebihan,
yang telah Allah manfaatkan bagi kaum muslimin.
Sunan
al-Tirmidzi yang terkenal juga dengan al-Jami’ al-shahih itu
adalah sumber hadits hasan , tetapi apabila diteliti dengan mendalam
mengandung hadits-hadits yang shahih, sebagian menurut syarat Abu
Dawud dan al-Nasa’i. Menurut al-Imam al-Tirmidzi bahwa
hadits-hadits yang ditulis dalam kitabnya, adalah yang telah
diamalkan oleh fuqaha’.
3.
IMAM AN- NASA’I
A.
Biografi dan riwayat hidup An-Nasa’i.
An-Nasa’iy,
nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali
bin Bahr bin Sinan An-Nasa’iy15.
Nama Al-Nasai diambil dari kata Nasa’, nama sebuah kota di daerah
Khurasan, Iran. Ia lahir pada tahun 215 H.
Ia
sejak berumur 15 tahun sudah mengadakan perjalanan ke berbagai
daerah/negari islam, antara lain: Hijaz, Mesir, dan Syira untuk
belajar Hadits kepada Ulama Hadits di daerah-daerah tersebut.
Diantara gurunya ialah Qutaibah bin Sa’id dan Ishaq bin Rahawaih.
Dan banyak pula ulama hadits yang mengambil dan meriwayatkan Hadits
dari padanya, antara lain At-Thabrani dan Al-Thahawi.
Ia
pernah tinggal lama di mesir dan banyak ulama yang mengambil Hadits
dari padanya serta karangan-karangannya banyak tersebar di Mesir.
Pada tahun 302 H ia meninggalkan Mesir dan pergi ke Syira. Ia
mendapat fitnah/tekanan di Syira, karena pandangan politiknya
berbeda dengan kebanyakan penduduk Syira. Ia menyatakan bahwa Ali
lebih utama dari Mu’awiyah. Akhirnya
ia pergi ke Makkah dan meninggal di sana pada tahun 303 H dalam usia
89 tahun16.
B.
Karya An- Nasa’i
Ia
memiliki karya berupa kitab kumpulan sunnah yang terkenal dengan
Sunan Nasa’iy. Kitab Sunan Nasa’iy disusun berdasarkan bab-bab
ilmu fiqih seperti kumpulan kita-kitab hadits lainnya.
Imam
Nasa’iy dalam menyusun kumpulan kitab As-Sunan As-Sughra
benar-benar extra hati-hati dan meneliti secermat mungkin terhadap
hadits-hadits yang dipilihnya. Oleh sebab itu, banyak ulama berkata:
“Sesungguhnya derajat urutan kitab As-Sunan As-Sughra berada di
bawah hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim karena
dia merupakan kitab kumpulan hadits yang paling sedikit memuat
hadits dhaif setelah Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Al-Muslim.
Di
dalam kitab Sunan An-Nasa’iy As-Sughra ini terdapat hadits-hadits
shahih, hasan dan sedikit sekali hadits yang dhaif17.
4.
IBNU MAJAH.
A.
Biografi dan riwayat hidup
Ibnu Majah.
Ibnu
Majah seorang pemuka ahli hadits, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rib’iy Al-Qazwini 18,
nisbat pada wilayah Qazwin, karena wilayah ini tempat
kelahiran dan pertumbuhannya. Ibnu Majah lahir pada tahun
207 H (824 M) dan wafat hari selasa bulan Ramadhan pada tahun 273 H
(887 M).
Beliau
banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah / negeri Islam, antara
lain Iraq, Syiria, Hijaz, dan Mesir untuk belajar , khususnya ilmu
hadits kepada ulama’ hadits di daerah-daerah tersebut Ia mengambil
atau menerima hadits dari ulama’ hadits yang keenam, antara lain
Abu Bakar bin Syaibah dan Al-Laits. Dan banyak pula ulama’ hadits
besar meriwayatkan hadits dari padanya antara lain: Ahmad bin Ibrahim
dan Ibnu Sibawaih.
B.
Karya Ibnu Majah.
Ibnu
Majah memiliki karya berupa kitab kumpulan hadits as-sunan yang
memuat hadits-hadits shahih , hadits-hadits hasan, serta
hadits-hadits dhaif. Sebagian ulama’ memberikan komentar terhadap
hadits-hadits yang ia riwayatkan secara menyendiri dari kitab-kitab
kumpulan hadits-hadits shahih yang enam, sebagai hadits dhaif ,
tetapi komentar ini tidak dapat diterima.
Imam-Imam
seperti, Imam Bukhory, Imam Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan
at-Tirmidzi,Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah adalah Imam
penyusun kitab-kitab tentang ilmu hadits. Kitab-kitab ini diantaranya
adalah Al-Muwaththa’, Musnad Ahmad, dan Al-Kutub As-Sittah.
Ulama’
telah mengakui keluasan ilmunya dalam bidang Hadits. Karangannya
banyak antara lain:
Kitab Al-Tarikh
Kitab As-Sunan (yang
terkenal)
Kitab Al-Kutub
Al-Sittah (Enam kitab Hadits)yang pokok.
Menurut
penyusun (Ibnu
Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan
Ibnu Majah kedalam kelompok Al
Khamsah
itu adalah Abul
Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al
Athraf,
kemudian Abdul
Ghani dal kitabnya Asmaur
Rijal.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas
32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits.
Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits
di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih,
hasan, dhaif bahkan maudhu’.
Imam
Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di
dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi. Ibnu
Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu
menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya
mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali
sedikit saja”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
DAFTAR
PUSTAKA
H.
Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah,
Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005.
Syaikh
Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama
Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006.
A.
Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam
ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang:
Walisongo Press,2008.
Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu Fi Ushuli
Al Hadisi Al-Syarifi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Muhammad
Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu,
balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003.
H.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1993.
Syaikh
Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud , Kairo:
Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993.
Muhammad
Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits,
terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007.
1
H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah,
Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 286.
2
Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi
Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 532.
3
A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari
Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi
al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 126.
4
Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi
Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 537-538.
5
Ibid, hlm. 540.
6
Muhammad Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu,
balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003. Hlm. 368.
7
H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah,
Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 287.
8
H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1993, hlm. 154.
9
Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi
Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm 533.
10
Syaikh Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud ,
Kairo: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993. hlm .121
11
A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari
Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi
al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 132.
12
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu
Fi Ushuli Al Hadisi Al-Syarifi,2006, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 279.
13
Ibid.
14
Ahmad Muhammad Syakir, Al-Jami’ al-Shahih,
(al-Qahirah:Al-Halabi,1937), Jilid 1, h. 77.
15
Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil
Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007,
hlm. 137.
16
H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1993, hlm. 153-154.
17
Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil
Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007,
hlm. 137-138.
18
Muhammad bin Lutfi Ash-Shabbagh, Al Haditsu An Nabawi:
Mushtolahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu. Bairut: Al Maktabah Al
Islami, 2003.hlm. 382.