Minggu, 07 Oktober 2012

ULAMA HADITS


1. IMAM ABU DAWUD
A. Biografi dan riwayat hidup Abu Dawud.
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman ibn al-asyas ibn ishaq ibn basyir ibn Amr ibn ‘Amran al-Azdi al-Sijistani. Seorang ulama, hufazh, dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, khususnya ilmu fiqh dan hadits1.
Adz-Dzahabi berkata,” Abu Dawud adalah seorang imam dalam hadits, ulama besar dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan hal itu. Dia termasuk murid Ahmad bin Hambal yang terkemuka. Sewaktu mulazamah (bersama) dengan Ahmad bin Hambal, dia banyak bertanya kepada Imam Ahmad tentang permasalahan-permasalahan ushul dan furu’ secara detil.”2
Menurut pengakuannya – yang dikutip ‘Uwaidlah dari tarikh Bagdad- ia lahir tahun 202. Ayahnya adalah Abu Bakar ‘Abdullah ibn Abu Dawud Sulaiman termasuk salah satu huffaz Bagdad. Sementara kakeknya (‘Imran) –menurut Ibn Hajar- merupakan salah seorang tokoh yang terbunuh bersama ‘Ali Ra. dalam perang Siffin.
Al-Hakim menyatakan bahwa Abu Dawud yang lahir di Sijistan tersebut, setelah beranjak remaja ia pergi ke Basrah untuk belajar hadis, ia banyak belajar dari Sulaiman ibn Harb, Abu an-Nu’man, Abu al-Walid. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Syam, Mesir dan juga ke Iraq, selanjutnya bersama Abu Bakar (putranya), ia melanjutkan lawatan ilmiahnya ke beberapa guru hingga di wilayah Nisabur dan kembali lagi ke Sijiistan.
Abu Dawud banyak menerima ilmu dari beberapa guru (ulama’) melalui lawatannya ke berbagai wilayah tersebut diatas, antara lain : Muslim ibn Ibrahim, Sulaiman ibn Harb, Abu ‘Amr al- Haudli, Abu al-Walid at- Tayalisi, Musa ibn Isma’il at-Tabuzaki, Abu Ma’mar al-Muq’id, ‘Abdullah Maslamah al-Qa’nAbu, Musaddad, Syadz ibn Fayyad,Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, Qutaibah ibn Sa’id, Ahmad ibn Yunus, ‘Usman ibn Aibn Syaibah, Ibrahim ibn Musa al-Farra’, ‘Amr ibn ‘Aun, Abu al-Jamahir at-Tanukhi, Hisyam ibn ‘Ammar ad-Dimasyqi, Muhammad ibn as-Sabah ad-DaulAbu, ar-Rubayyi’ibn Nafi’ al-HalAbu, Yazid ibn Mauhib al-Ramli, Abu at-Tahir ibn as-Sarh Ahmad ibn Salih al-Misriyyin, Abu Ja’far an-Nufaili dan masih banyak lagi yang lainnya3.
Adapun murid-muridnya sebagaimana dikatakan Al-Hafizh antara lain adalah; Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Amr Al-Lu’lu’, Abu Ath-Thayib Ahmad bin Ibrahim bin Abdirrahman Al-Asynani, Abu Amr Ahmad bin Ali bin Al-Hasan Al-Bashari, Abu Said Ahmad bin Muhammad bin Ziyad Al-A’rabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdurrazaq bin Dassah, Abul Hasan Ali bin Al-Hasan bin Al-Abd Al-Anshari, Abu Isa Ishaq bin Musa bin Said Ar-Ramali Warraqah dan Abu Usamah Muhammad bin Abdil Malik bin Yazid Ar-Ruwas. Mereka semua adalah perawi Kitab Sunan Abu Dawud dari Abu Dawud4.
Abu Dawud wafat pada usia 73 tahun di Basrah5. Tentang tahun wafatnya, Lutfi as-Shabbagh menjelaskan bahwa Abu Dawud wafat pada tahun 275 H6.

B. KARYA ABU DAWUD
Menginjak usianya yang ke 21 tahun, Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu ke berbagai negara Islam. Diantaranya ke negeri;Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran) , Hrat, Kuffah, Tarsus, Basrah dan Baghdad.
Pasca perjalanan studinya, Abu Dawud berhasil menyusun kitab hadits, yakni Sunan Abi Dawud. Kitab ini, bersama kitab Jami’ al-Turmudzi (karya al-Turmudzi), Musnad Ahmad ibn Hanbal (karya Imam Hanbal), dan Mujtaba al-Nasai (karya Imam al-Nasai), dinilai sebagai kitab standar peringkat pertama, yakni: Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Dalam kitab tersebut, Abu Dawud mengumpulkan 4.800 hadits yang beliau sarikan dari 500.000 hadits yang dihafalnya. Kitab ini disusun berdasarkan sistematika fiqh, yakni memuat hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum. Dan kitab ini menjadi kitab yang paling popular di antara kitab-kitab karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul7.
Ulama Hadits sebelum Abu Dawud, sudah banyak yang menyusun Kitab Jami’, Kitab Musnad dan sebagainya. Tetapi mereka masih mencampuri antara Hadits-hadits hukum dengan Hadits-hadits tentang akhlak, cerita-cerita, berita-berita dan nasihat-nasihat. Abu Dawud adalah yang mempelopori menyusun kitab Hadits yang hanya berisi Hadits-hadits hukum saja. Kitabnya ini terkenal dengan nama Kitab Sunan dan pernah ditunjukkan kepada Ahmad bin Hanbal. Dan kitab tersebut dinyatakan baik oleh Ahmad bin Hanbal8.
Al-Khathib dengan sanadnya dari Abu Bakar bin Dasah, ia berkata, “ Aku pernah mendengar Abu Dawud berkata,”Aku telah menulis dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam 500.000 (lima ratus ribu) hadits. Kemudian aku memilihnya hingga menjadi 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadits. Jumlah hadits pilihanku itu termuat dalam kitabku ini. Dalam kitab ini, aku telah mencantumkan hadits shahih, hadits yang menyerupainya dan hadits yang mendekatinya9. Menurut Abu Dawud, cukup empat hadits bagi seseorang dalam urusan agama, yaitu10 :
1. إنما الأعمال باالنيات
2. من حسن إسلا م المرء تركه ما لا يعنه
3. لا يكون المؤمن مؤمنا حتي يرضى لأخيه ما يرضى لنفسه
الحلال بيِّن و الحرام بيِّن، و بينهما أمور مشتبهات 4

Kitab Sunan Abu Dawud ini mendapat penghargaan tinggi dari kalangan ulama, di antara ulama yang memberikan penilaian tinggi tersebut sebagaimana dikutip as-Sahar an-Nufuri dalam kitab syarah Sunan Abu Dawud adalah:
1) Abu Sa’id al-A’rabi (murid Abu Dawud) mengatakan: Seandainya seseorang tidak memiliki ilmu kecuali mushhaf yang berisi al-Qur’an dan kitab ini, maka kedunya sudah memadai (tanpa membutuhkan kitab lainnya)
2) Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: Ketahuilah bahwa kitab Sunan Abu Dawud ini merupakan karya yang tiada tandingan, dan telah diterima secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan hukum di antara kelompok ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat
3) An-Nawawi dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi kalangan pengkaji fiqh menjadikan kitab Sunan Abu Dawud ini sebagai i’tibar dan memahaminya secara sempurna, karena keagungan hadis hukum di dalamnya yang disusun secara mudah bagi mereka yang hendak melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan lainnya11.

Di dalam pendahuluan kitab Mu’aalimu Al-Sunani, Al-Hafidz Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, “Ketahuilah oleh kamu sekalian, semoga Allah SWT merahmatimu, bahwa kitab Sunan karya Abu Daud adalah kitab yang mulia, tidak ada kitab lain dalam ilmu-ilmu agama yang seperti itu, kitab itu telah diterima oleh semua orang, karenanya ia menjadi hakim antara kelompok-kelompok ulama dari lapisan ahli fiqh terhadap perbedaan madzabnya. Semua ulama telah datang mengambil dari kitab Abu Daud12.

Untuk memahami manhaj Abu Dawud dalam mentashih dan mentad’if hadis dapat dipelajari dari upaya beliau menghimpun hadis sekaligus komentarnya tentang hadis tersebut, apakah sahih ataukah dlai’f. Dalam Risalah Abu Dawud, beliau mensifati kitab sunannya, antara lain:
1. Perlu diketahui bahwa hadis-hadis yang aku sebutkan dalam kitab sunan tersebut adalah hadis-hadis paling Sahih dalam suatu bab yang aku ketahui.
2. Bila aku kemukakan dalam satu bab, dua atau tiga pandangan atau hal, boleh jadi itu merupakan prnyataan tambahan atas beberapa hadis atau meringkas hadis yang panjang, karena seandainya aku tuliskan keseluruhannya( hadis yang panjang itu), aku khawatir sebagaian orang tidak tahu dan juga tidak faham dengan tema fiqh yang tersirat di dalamnya, itulah alasan peringkasan tersebut.
3. Dalam kitab sunanku tidak ada rawi yang disifati dengan Matruk al-Hadis, kalaupun ada hadis yang munkar, aku jelaskan hadis tersebut munkar.
4. Tidak terdapat di dalam kitab Sunanku hadis yang wahn syadid kecuali telah aku berikan keterangan, demikian pula di dalam kitab Sunanku terdapat pula hadis yang tidak sahih sanadnya, dan hadis-hadis yang tidak aku komentari apapun di dalamnya, berarti sahih, bahkan sebagaian ada yang lebih sahih dari sebagaian yang lain.
Dari uraian Abu Dawud tersebut dan kriteria kitab sunan, dapat dipahami bahwa ia menghimpun hadis-hadis dalam kitab Sunannya tersebut yang memuat sunnah Nabi SAW. pada aspek fiqh13.






2. IMAM AT- TIRMIDZI
A. Biografi dan riwayat hidup At- Tirmidzi.
Al-Imam al-Tirmidzi nama lengkapnya ialah Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn Dhahak Al-Bughi al-Tirmidzi. Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya.14
Al- Sulami dibangsakan dengan Bani Sulaym, dari Qabilah ‘Aylan, sedangkan al-Bughi adalah nama desa tempat al-Imam wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan juga disana.
Al-Imam al-Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu Isa, yang ternyata sebagian ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang ditahrijkan oleh ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama Abu Isa yang berarti ayah dari Isa. Seperti yang diketahui bahwa Isa tidak mempunyai ayah. Maka Abu ‘Isa yang dimaksud adalah Al-Imam al-Tirmidzi yang lahir di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang Uzbekistan di kota Tirmidz. Kota itu menurut penduduknya diucapkan dengan bacaan Tarmiz, demikian pendapat al-Sam’ani yang pernah berkunjung kesana selama dua belas hari. Memang yang masyhur adalah Tirmidz, demikian menurut al-Hafidh al-Dzahabi.
Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti, akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran beliau pada tahun 209 H (824 M), sedangkan Ahmad Muhammad Syakir telah mengutip dari Syaykh Muhammad ‘Abd al-Hadi al-Hindi, bahwa al-Imam lahir pada tahun 207 H. Sedangkan Al-Shalah al-Safadi dalam Nuqth al-Himyan menyatakan beberapa tahun sesudah tahun 200 H, al-Imam al-Tirmidzi dilahirkan, dan Adz-Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 H beliau dilahirkan.
At-Tirmidzi dinisbatkan pada Tirmidz yang terletak di sebelah utara Iran. Imam At-Tirmidzi dinisbatkan pada daerah itu karena dia tumbuh disana.
Para ulama’ pada berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa Imam At-Tirmidzi lahir dalam keadaan buta. Sedangkan berita yang benar adalah dia buta ketika sudah besar, tepatnya setelah melakukan perjalanan mencari ilmu dan menulis kitabnya.
Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita memperhatikan biografi beliau, bahwa beliau memulai aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun. Maka dengan demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode beliau memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi beliau mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak adalah bahwa beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Beliau memiliki kelebihan hafalan yang begitu kuat dan otak encer yang cepat menangkap pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah, satu kisah perjalan beliau meuju Makkah, yaitu; “Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa “dua jilid kitab” yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi yang kubawa bukanah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. aku memohon kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih bersih. Maka dia menegurku: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ maka aku pun memberitahukan kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal semuanya.” Maka syaikh tersebut berkata; ‘bacalah!’. Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun.”
Imam At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya.
Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke daerah Baghdad, sehingga mereka berkata; “kalau sekiranya dia masuk ke Baghdad, niscaya dia akan mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al Khathib tidak menyebutkan at Timidzi (masuk ke Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa beliau masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau pernah mendengar di Baghdad dari beberapa ulama, diantaranya adalah; Al Hasan bin Ash-Shabbah, Ahmad bin Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash shaghani.Dengan ini bisa di prediksi bahwa beliau masuk ke Baghdad setelah meninggalnya Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama yang di sebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak menyebutkannya, itu tidak berarti bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari kalangan ulama yang tidak di sebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka memasuki Baghdad.Setelah pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat.
Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantara mereka adalah:
Al-Khatib al-Baghdadi Qutaibah Ibn Sa’id al-Madani
Ishaq Ibn Rahawayh (Khurasan)
Muhammad Ibn‘Amru As Sawaq al Balkhi (Naysabur)
Ali Ibn al-Madani (Samara)
Mahmud Bin Ghilan
Ismail bin Musa al-Fazari
Imran bin Musa Al-Qazzaz.
8. Muhammad bin Abdil ‘Ala , para perawi yang satu thabaqah dengan mereka dan setelahnya.

Sedangkan diantara murid al-Imam al-Tirmidzi yang termasyhur, adalah:
Abu Bakr Ahmad bin Isma’il Al-Samarqandi
Abu Hamid Ahmad Ibn ‘Abdullah Ibn Dawud Al Marwazi al-Tajir
Ahmad Ibn‘Ali Ibn Hasnuyah Al-Maqari`
Ahmad bin Yusuf An Nasafi
Ahmad bin Hamdawiyah an Nasafi
Al Husain bin Yusuf Al-Farabri
Hammad bin Syair Al-Warraq
Daud bin Nashr bin Suhail Al-Bazdawi
Ar Rabi’ bin Hayyan Al-Bahili
Abdullah bin Nashr saudara Al-Bazdawi, dan lain-lain.


Mengenai tahun wafatnya, baik Al-Dzahabi maupun Al-‘Alamah Malla ‘Ali Al-Qari menyebutkan tahun 279 H,yakni pada usia 70 tahun. Al-Syakir menyebutkan bahwa Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892. Hal ini juga senada yang diampaikan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib dari Al-Hafizh Abu ‘Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang telah melewat ke Khurasan dan lama tinggal disana.
Dalam kitab,al-Ansab dan Al-Tadzkirat al-Huffadh disampaikan berita seperti tersebut diatas. Adanya pendapat bahwa Imam al-Tirmidzi meninggal pada tahun 277 H, sehingga berusia 68 tahun, pendapat itu kurang kuat. ‘Ulama’ terkenal seperti al-Dzahabi, Ahmad Syakir dan Dr.Nuruddin ‘Itir pendapatnya cukup kuat untuk dijadikan pegangan, sebagaimana pernyataan mereka seperti yang telah disebutkan di depan. Hal lain lagi, seorang sejarawan Abu al-Falah ‘Abd al-Hasyyi Ibn al-Imad Al-Hanbali telah menulis peristiwa yang terjadi tahun 279 H, antara lain adalah Al-Imam al-Tirmidzi telah wafat, sebagaimana dikatakan Ibn Khillikan.

B. Karya At- Tirmidzi
Imam Tirmizi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara buku-buku beliau ada yang sampai kepada kita dan ada juga yang tidak sampai. Di antara hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah:
Kitab al-Jami’al-Shahih , terkenal dengan sebutan Sunan al-Tirmidzi yang telah mengumpulkan 3.956 hadits.
Kitab Al-‘Ilal al-Shaghir
Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kitab al-‘Ilal al-Mufrad atau al-‘Ilal Kabir
Kitab al-Asma’ wa al-Shahabah
Kitab al-Atsar al-Mawqufah

Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
Kitab Al-Tarikh.
Kitab Al-Zuhd.
Kitab Al-Asma’ wa al-kuny.


Banyak ditemukan pengakuan terhadap al-Imam al-Tirmidzi dalam usahanya mengembangkan hadits dan fiqh serta ilmu-ilmu agama pada umumnya, seperti berikut ini:
Al-Hafidzh al-‘Alim al-Idris telah berkata, “Ia seorang dari para Imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmuwan hadits, mengarang al-Jami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.”
Ali Ibn Muhammad Ibn al-Atsir seorang ahli sejarah menyatakan seperti dibawah ini:
وأحد الأئمّة الّذين يقتدي بهم في علم الحديث.
Al-Imam al-Tirmidzi salah seorang Imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadits.
Al-Mizzi berkata pula :
وأحد الأئمّة الحفّاظ المميّزين ومن نفع اللّه به المسلمين.
Al-Imam al-Tirmidzi,salah seorang Imam hafidzh, yang mempunyai kelebihan, yang telah Allah manfaatkan bagi kaum muslimin.
Sunan al-Tirmidzi yang terkenal juga dengan al-Jami’ al-shahih itu adalah sumber hadits hasan , tetapi apabila diteliti dengan mendalam mengandung hadits-hadits yang shahih, sebagian menurut syarat Abu Dawud dan al-Nasa’i. Menurut al-Imam al-Tirmidzi bahwa hadits-hadits yang ditulis dalam kitabnya, adalah yang telah diamalkan oleh fuqaha’.


3. IMAM AN- NASA’I
A. Biografi dan riwayat hidup An-Nasa’i.
An-Nasa’iy, nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan An-Nasa’iy15. Nama Al-Nasai diambil dari kata Nasa’, nama sebuah kota di daerah Khurasan, Iran. Ia lahir pada tahun 215 H.
Ia sejak berumur 15 tahun sudah mengadakan perjalanan ke berbagai daerah/negari islam, antara lain: Hijaz, Mesir, dan Syira untuk belajar Hadits kepada Ulama Hadits di daerah-daerah tersebut. Diantara gurunya ialah Qutaibah bin Sa’id dan Ishaq bin Rahawaih. Dan banyak pula ulama hadits yang mengambil dan meriwayatkan Hadits dari padanya, antara lain At-Thabrani dan Al-Thahawi.
Ia pernah tinggal lama di mesir dan banyak ulama yang mengambil Hadits dari padanya serta karangan-karangannya banyak tersebar di Mesir. Pada tahun 302 H ia meninggalkan Mesir dan pergi ke Syira. Ia mendapat fitnah/tekanan di Syira, karena pandangan politiknya berbeda dengan kebanyakan penduduk Syira. Ia menyatakan bahwa Ali lebih utama dari Mu’awiyah. Akhirnya ia pergi ke Makkah dan meninggal di sana pada tahun 303 H dalam usia 89 tahun16.
B. Karya An- Nasa’i
Ia memiliki karya berupa kitab kumpulan sunnah yang terkenal dengan Sunan Nasa’iy. Kitab Sunan Nasa’iy disusun berdasarkan bab-bab ilmu fiqih seperti kumpulan kita-kitab hadits lainnya.
Imam Nasa’iy dalam menyusun kumpulan kitab As-Sunan As-Sughra benar-benar extra hati-hati dan meneliti secermat mungkin terhadap hadits-hadits yang dipilihnya. Oleh sebab itu, banyak ulama berkata: “Sesungguhnya derajat urutan kitab As-Sunan As-Sughra berada di bawah hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim karena dia merupakan kitab kumpulan hadits yang paling sedikit memuat hadits dhaif setelah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Al-Muslim.
Di dalam kitab Sunan An-Nasa’iy As-Sughra ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan sedikit sekali hadits yang dhaif17.


4. IBNU MAJAH.
A. Biografi dan riwayat hidup Ibnu Majah.
Ibnu Majah seorang pemuka ahli hadits, nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rib’iy Al-Qazwini 18, nisbat pada wilayah Qazwin, karena wilayah ini tempat kelahiran dan pertumbuhannya. Ibnu Majah lahir pada tahun 207 H (824 M) dan wafat hari selasa bulan Ramadhan pada tahun 273 H (887 M).
Beliau banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah / negeri Islam, antara lain Iraq, Syiria, Hijaz, dan Mesir untuk belajar , khususnya ilmu hadits kepada ulama’ hadits di daerah-daerah tersebut Ia mengambil atau menerima hadits dari ulama’ hadits yang keenam, antara lain Abu Bakar bin Syaibah dan Al-Laits. Dan banyak pula ulama’ hadits besar meriwayatkan hadits dari padanya antara lain: Ahmad bin Ibrahim dan Ibnu Sibawaih.


B. Karya Ibnu Majah.
Ibnu Majah memiliki karya berupa kitab kumpulan hadits as-sunan yang memuat hadits-hadits shahih , hadits-hadits hasan, serta hadits-hadits dhaif. Sebagian ulama’ memberikan komentar terhadap hadits-hadits yang ia riwayatkan secara menyendiri dari kitab-kitab kumpulan hadits-hadits shahih yang enam, sebagai hadits dhaif , tetapi komentar ini tidak dapat diterima.
Imam-Imam seperti, Imam Bukhory, Imam Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi,Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah adalah Imam penyusun kitab-kitab tentang ilmu hadits. Kitab-kitab ini diantaranya adalah Al-Muwaththa’, Musnad Ahmad, dan Al-Kutub As-Sittah.
Ulama’ telah mengakui keluasan ilmunya dalam bidang Hadits. Karangannya banyak antara lain:
Kitab Al-Tarikh
Kitab As-Sunan (yang terkenal)
Kitab Al-Kutub Al-Sittah (Enam kitab Hadits)yang pokok.


Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal. Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’.
Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi. Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.







DAFTAR PUSTAKA
H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005.

Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008.

Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu Fi Ushuli Al Hadisi Al-Syarifi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.


Muhammad Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu, balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003.

H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.

Syaikh Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud , Kairo: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993.


Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007.




1 H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 286.
2 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 532.
3 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 126.
4 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm. 537-538.
5 Ibid, hlm. 540.
6 Muhammad Lutfi as-Shabbagi, Al- Hadits an-Nabawi: mushthalahuhu, balaghatuhu, kutubuhu, Beirut: Al Maktabah, 2003. Hlm. 368.
7 H. Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ; Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka,2005, hlm. 287.
8 H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993, hlm. 154.
9 Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf) , terj. Masturi Irham & Asmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006, hlm 533.
10 Syaikh Abul Abbas, Badlu al Majhul Fi Halli Sunani Abi Dawud , Kairo: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, 1993. hlm .121
11 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis;Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi,Semarang: Walisongo Press,2008, hlm. 132.
12 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis: Al Manhalu Al-Lathifu Fi Ushuli Al Hadisi Al-Syarifi,2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 279.
13 Ibid.
14 Ahmad Muhammad Syakir, Al-Jami’ al-Shahih, (al-Qahirah:Al-Halabi,1937), Jilid 1, h. 77.
15 Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007, hlm. 137.
16 H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993, hlm. 153-154.
17 Muhammad Alawi al-Maliki, Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah, 2007, hlm. 137-138.
18 Muhammad bin Lutfi Ash-Shabbagh, Al Haditsu An Nabawi: Mushtolahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu. Bairut: Al Maktabah Al Islami, 2003.hlm. 382.
Aliran Basrah dan Aliran Kuffah Dalam Ilmu Nahwu
1.a. Munculnya aliran Basrah
Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Tigris dan Euphrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Baghdad. Namanya diperoleh dari sifat tanahnya. Bashrah adalah tempat yang tanahnya halus berbatu, banyak mengandung air dan bagus untuk pertanian. Hal ini diperlihatkan dengan adanya buluh (qashb), yaitu: tanah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal, dan memungkinkan untuk berkembang dan mengambil manfaat dari tempat-tempatnya yang bersifat natural.
Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah.
Nahwu tumbuh dan berkembang di tangan para ulama Bashrah. Pada awal perkembangannya, nahwu masih merupakan ilmu dengan lingkup yang kecil. Abu al-Aswad menemukannya dan kemudian dikuatkan oleh Imam Ali ra. Pada masa peletakan dan penyusunan yang terjadi di Bashrah, ada beberapa faktor yang mendorong ulama-ulama di kota ini melakukannya. Diantaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab, dan juga faktor sosiologis. Faktor agama sangat terkait erat dengan keinginan atau tanggung jawab para ulama untuk menjaga dan menyampaikan al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan. Hal ini didasarkan kenyataan adanya kesalahan baca beberapa ayat oleh sebagian orang. Sudah tentu mereka adalah orang-orang non-Arab. Faktor kedua adalah nasionalisme Arab. Faktor ini berkaitan dengan adanya keinginan orang-orang Arab untuk memperkuat kedudukan Bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan bahasa-bahasa lain, disamping adanya kekhawatiran akan kepunahannya. Sedangkan faktor sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat untuk memahami bahasa al-Qur’an1.
Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad
masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakanbahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapanNabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat).
Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an. Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah2.
Ilmu nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah Al- Basriyah (aliran Basrah) berkembang dengan pesat. Selanjutnya, Al-Tantawi (1973: 69) membagi aliran Basrah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan, mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali-(69 H) sampai dengan Al- Mubarrid (285 H).
Sumber kajian aliran Basrah dalam menetapkan kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, dan (c) puisi-puisi Arab3.
Menurut Muhammad al-Thanthawi (108-115), pesatnya aliran Basrah didukung oleh situasi-situasi berikut:
Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah. Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah. Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan. Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya. Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya Lembah Najd4.
Selain itu, aliran Basrah dapat berkembang dengan sangat pesat hingga terkenal di kalangan para ulama Nahwu (nahwiyyin) dikarenakan begitu gigihnya para pelajar (thalib) dalam memelajari Ilmu Nahwu yang diajarkan langsung oleh penyusun kitab pertama kali (Abu Aswad ad-Duali). Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami Ilmu Nahwu adalah karena negeri Basrah saat itu telah bercampur dengan penduduk pribumi dengan non pribumi (‘azam) yang layaknya hidup seperti penduduk asli.








1.b. Munculnya aliran Kufah
Kufah terletak di tepian lembah sungai Efrat yang terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sebelah Timur berbatasan langsung dengan sungai Efrat, di sebelah Selatan berbatasan dengan Najf, dan di sebelah Barat dan Utaranya berbatasan langsung dengan padang pasir yang sangat luas dan membentang hingga ke kota Syam. Kufah didirikan oleh Sa’d ibn Abi Waqash pada tahun 16-17 H, atau antara 2-3 tahun setelah berdirinya kota Bashrah.
Nahwu aliran Kufah terdapat di negeri Kufah yang terkenal sebagai negerinya para muhadditsin, penyair dan ahli qira’ah. Sehingga, terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira’ah, yaitu Kisai, Ashim bin Abi an-Nujud, dan Hamzah. Kisai adalah salah satu pendiri madzhab Kufah. Pendapatnya terhadap suatu masalah gramatika bahasa Arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya atau yang lain. Ciri khas madzhab ini adalah lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan sebuah masalah yang berkaitan dengan gramatika Arab. Mayoritas para ahli bahasa dan ahli Nahwu membandingkan antara madzhab Kufah dengan Basrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ruasi mengikuti madzhab ulama Basrah Abu Amr al-A’la dan Isa bin Umar. Begitu juga Khalah Muaz bin Muslim al-Hara’i juga memanfaatkan madzhab keduanya dalam memelajari Nahwu dan Sharaf. Kisai menganut madzhab Isa bin Umar, Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib yang mereka semua mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih.
Lepas dari siapa pendiri madzhab Kufah, ada seorang tokoh Kufah yang paling berjasa dalam proses ilmiah bahasa Arab, yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H). Ia adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya (ilmu hadits, fiqh, bahasa, matematika, logika formal) dan didukung dengan kecerdasan yang sangat luar biasa. Ilmu Nahwu ia kembangkan sedemikain rupa, sehingga dengan kata lain bahasa Arab benar-benar menjadi bahasa ilmiah dan dapat dipelajari secara metodologis dan sistematis. Khalil tidak saja melengkapi dan memperluas teori-teori Abu Aswad dan para muri dnya, tetapi secara spektakuler telah mencetuskan teori baru, yaitu tentang Mubtada’, Khabar, Kana, Inna dan saudara-saudaranya berserta fungsi dan cara kerja masing-masing. Ia juga sebagai pembuat kategori atau klasifikasi kata kerja transitif (al-af’al al-muta’diyah) baik yang sebagai obyek (maf’ul bih) satu, dua atau beberapa obyek. Ia juga perumus al-fail dan berbagai jenis al-maf’ul, al-khal, al-tamyiz, al-tawabi’, al-Nida’  berikut macamnya, kata benda (tanwin musharif) dan sebaliknya. Semuanya ia definisikan dan disusun metode-metodenya secara rapi.
Tidak hanya di situ bentuk inovasi Khalil. Lebih jauh lagi, ia membuat teori-teori bahasa lain yang kemudian disebut dengan Ilmu Sharf. Ia kategorikan semua (yang kita kenal sekarang dengan stulasi, ruba’i, khumasi dan lain-lain). Karena pengetahuan matematika dan musiknya yang mendalam, ia mampu membuat rumusan berbagai nada bunyi puisi-puisi Arab dan aturan-aturannya yang kemudian dikenal dengan ilmu Arud wal Qawafi. Pengaruh matematika pada metode Khalil dalam penyusunan kata-kata Arab ini telah memengaruhi dan mengilhami ia untuk mengelola huruf-huruf Hijaiyah. Dari dua puluh delapan huruf Hijaiyah oleh Khalil dijadikan derivasinya dan dikelompokkan dalam cabang-cabangnya (dalam pandangan Khalil pada dasarnya kata dalam bahasa Arab hanya berjumlah dari penggabungan dari lima huruf lebih, maka dikategorikan sebagai huruf ziddah). Ia juga yang merumuskan a-ba-ja-dun.
Dengan kata lain, Khalil lebih mengedepankan qiyas daripada mencari informasi langsung dari masyarakat (sima’i). Sejak kemunculan Khalil dengan qiyas-nya itu, sekarang qiyas berperan sangat besar dalam berbagai perdebatan dalam dunia kebahasan (linguistik) Arab.
Sebenarnya, berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil. Aliran Kufah muncul sebagai suatu aliran tersendiri dalam bidang kajian nahwu sesudah satu abad lamanya dari lahirnya aliran Basrah. Para tokoh aliran Kufah tidak ikut bersama-sama dengan para tokoh aliran Basrah dalam kajian nahwu disebabkan mereka memusatkan perhatiannya dalam bidang lain, seperti periwayatan puisi dan pengumpulannya, periwayatan jenis-jenis qira at, di samping perhatian mereka dalam kajian yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah fikih (Daif, 1972: 153). Awal munculnya aliran Kufah sebagai suatu aliran nahwu tersendiri terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Menurut Al-Makhzumi (1958: 67-68), ada yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai oleh Abu Ja far Al-Ruasidan Mu adh bin Muslim Al-Harra (187 H). Ada juga yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai dengan munculnya Al-Kisai (189 H) dan Al-Farra' (207 H). Sekalipun demikian, Al-Tantawi (1973: 69) tetap membagi aliran Kufah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya menjadi lima tingkatan,mulai dari Al-Ru a - si- dan Mu a-dh bin Muslim Al-Harra- (187 H) sampai Tha lab (291 H). Sumber kajian aliran Kufah dalammenetapkan kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan adalah (a) Alquran Al-Kari-m, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, (c) puisi puisi Arab, dan (d) nahwu aliran Basrah (Al-Makhzumi,1958:337, Al-Qifti, 1958: 258, Al-Anbari, 1953: 208, Abd. Hamid, 1976: 202)5.

Ciri dan perbedaan Aliran Basrah dan Kufah
Dua aliran utama yakni Basrah dan Kufah keduanya tidak dapat disangkal sebagai bagian kajian nahwu (gramatika Arab). Seandainya aliran Bashrah disebut peletak dasar nahwu maka aliran Kufah merupakan mata rantai dari pengokoh kajian gramatika Arab terutama dengan ciri khas tertentu yang terkadang merupakan pendekatan yang berdiri diametral dengan aliran Bashrah.
Secara sederhana dapat dikatakan perbedaan kedua aliran nahwu tersebut terletak pada perbedaan metodologi yang digunakan oleh keduanya. Aliran Bashrah dalam banyak hal lebih berupaya menciptakan kaidah berdasarkan banyak contoh. Dengan demikian aliran Bashrah menganggap contoh yang sedikit tidak dapat dijadikan dalil atau paling tidak mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang syaadz. Berlawanan dengan aliran Bashrah, kita menemukan aliran Kufah lebih menganggap bahasa yang benar haruslah sebagaimana diriwayatkan oleh penuturnya betapapun syadznya riwayat itu.
Perbedaan antara Nahwu Basrah dan Kufah terletak pada perlakuan data bahasa. Bersifat prespektif, dalam pengertian kaidah-kaidah Nahwu disimpulkan dari gejala-gejala umum dari data bahasa yang ada. Kesimpulan tersebut dijadikan sebagai kaidah. Data-data bahasa yang menyimpang dari gejala-gejala umum ini diperlakukan sebagai ‘syadz (tidak dijadikan hujjah). Bersifat deskriptif, dalam pengertian semua data bahasa yang berasal orang Arab yang bahasanya masih dianggap murni, dapat dijadikan acuan dalam membuat kaidah bahasa6.
Di antara ciri khas madzhab/aliran Basrah adalah mereka selalu berpegang pada pendapat Jumhur bahasa apabila terdapat khilafiyah. Jika pendapat menyalahi jumhur, mereka dita’wilkan atau digolongkan sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran ini selalu menggunakan sima’i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab.
Sedangkan untuk aliran Kufah, secara eksplisit Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan tiga macam ciri-ciri umum aliran kufah berikut ;
1. keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman
2. keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.
3. perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul7.







































1 Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009
2 http://journal.um.ac.id
3 Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008 Universitas Hasanudin Makasar.
4 Ridwan, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya UIN Malang, 2009
5 Najmuddin H. Abd. Safa, Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 2, Agustus 2008 Universitas Hasanudin Makasar.

6 http://kiflipaputungan.wordpre.com
7 http://forumstudinahwu.blogspot.com

Rabu, 03 Oktober 2012

Definisi Pembelajaran


BELAJAR MENGAJAR

A. Definisi Belajar dan Mengajar
            Belajar (dalam bahasa Arab : At-Ta’allum), menurut Sunaryo dalam bukunya Strategi Belajar-Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan suatu kegiatan di mana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang positif, artinya untuk mencari kesempurnaan hidup[1].
            Psikologi Daya berpendapat , bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang dimiliki oleh manusia. Dengan latihan tersebut, akan terbentuk dan berkembang berbagai daya yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti daya ingat, daya pikir, daya rasa, dan sebagainya. Pandangan baru menyatakan bahwa belajar  merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat latihan dan pengamalan[2].
            Sementara, mengajar (dalam bahasa Arab : At- Ta’liim) Hamalik memberikan definisi sebagai berikut:
1.      Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah.
2.      Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah
3.      Mengajar adalah usaha pengorganisasian lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa
4.      Mengajar atau mendidik adalah memberikan bimbingan belajar kepada murid
5.      Mengajar adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat; dan
6.      Mengajar adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
            Lebih lanjut, Hamalik mengemukakan bahwa :
1.      Pengajaran mempunyai maksud yang sama dengan kegiatan mengajar
2.      Pengajaran adalah interaksi belajar-mengajar sebagai suatu sistem; dan
3.      Pengajaran identik dengan pendidikan.
            Karakteristik interaksi belajar-mengajar dalam pendekatan proses belajar-mengajar meliputi dua hal pokok, yaitu mengajar dan pembelajaran. Mengajar adalah upaya penyampaian pengetahuan kepada peserta didik yang rumusan konsepnya adalah sebagai berikut.
1.      Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan, dalam hal ini masa depan kehidupan anak yang ditentukan orang tua. Oleh karenanya, sekolah berfungsi untuk mempersiapkan mereka agar mampu hidup dalam masyarakat yang akan datang.
2.      Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menggunakan metode imposisi, dengan cara menuangkan pengetahuan kepada siswa. Pada umumnya, guru menggunakan metode “formal step” yang berdasarkan asas asosiasi dan reproduksi atas tanggapan / kesan. Cara penyampaian pengetahuan tersebut berdasarkan  ajaran psikologi asosiasi.
3.      Tujuan utama pembelajaran ialah penguasaan pengetahuan. Pengetahuan bersumber dari perangkat mata ajaran yang disampaikan di sekolah. Oleh karena itu, mata ajaran tersebut meliputi berbagai pengalaman yang berasal dari orang tua di masa lalu, yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang diuraikan, disusun, serta dimuat dalam buku mata pelajaran dari berbagai referensi.
4.      Guru dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa . Peran guru dalam hal ini adalah sangat dominan. Guru yang menentukan segala hal yang dianggap tepat untuk disajikan kepada para siswanya. Guru juga dipandang sebagai orang yang serba mengetahui dan serba pandai. Oleh karenanya, guru mempunyai kekuasaan dalam mempersiapkan tugas, memberikan latihan, dan menentukan peraturan maupun kemajuan tiap siswa.
5.      Siswa selalu bersikap dan bertindak pasif. Siswa dianggap sebagai tong kosong yang belum mengetahui apapun. Siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh guru, bersikap sebagai pendengar, pengikut, dan pelaksana tugas. Adapun kebutuhan, minat, tujuan, abilitas, dan hal lain yang dimiliki siswa diabaikan dan tidak mendapat perhatian guru.
6.      Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas. Kegiatan pengajaran hanya dilaksanakan sebatas ruangan kelas saja, sedangkan pengajaran di luar kelas tidak pernah dilakukan.
7.      Mengajar adalah pewarisan kebudayaan pada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa pengajaran bertujuan membentuk manusia berbudaya, yaitu manusia yang mampu hidup dalam pola kebudayaan masyarakatnya.
8.      Pengajaran dapat diartikan sebagai suatu proses pewarisan yang dilakukan melalui berbagai prosedur, yaitu pengajaran, media, hubungan pribadi, dan sebagainya.
9.      Bahan pengajaran bersumber dari kebudayaan, yang merupakan kumpulan warisan sosial dalam masyarakat. Oleh karenanya, kebudayaan dan hasil kebudayaan yang diwariskan kepada siswanya umumnya merupakan benda dan nonbenda, hal yang tertulis atau lisan, dan berbagai bentuk tingkah laku, norma, dan lain sebagainya.
10.  Siswa diposisikan sebagai generasi muda yang merupakan ahli waris kebudayaan. Kebudayaan yang diwariskan kepada siswa tersebut harus dikuasai dan dikembangkan, sehingga mereka menjadi warga masyarakat yang lebih berbudaya. Siswa juga diharapkan mampu memanfaatkan teknologi sebagai aspek kebudayaan untuk kehidupannya serta mampu mengadakan penemuan baru dan mengembangkan kebudayaan yang telah ada.
11.  Pengajaran adalah upaya pengorganisasian lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. Lingkungan sosial sering kali lebih memengaruhi tingkah laku seseorang, oleh karenanya melalui interaksi antara individu dan lingkungannya, siswa diharapkan akan memperoleh berbagai pengalaman yang memengaruhi pengembangan tingkah lakunya. Dalam konteks ini, sekolah berfungsi menyediakan lingkungan yang dibutuhkan bagi perkembangan tingkah laku siswa, antara lain, dengan menyiapkan program belajar, bahan pengajaran, metode mengajar, alat belajar, dan sebagainya.
12.  Peserta didik diibaratkan sebagai organisasi yang hidup. Guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi, agar aktivitas yang dilakukan menuju arah yang diinginkan. Oleh karenanya, guru harus menjadi organisator belajar bagi siswa yang potensial tersebut, sehingga tujuan pengajaran yang optimal akan tercapai[3].
            Untuk mengoptimalkan antara belajar dan mengajar tersebut, terdapat metode pembelajaran yang ideal, yang disebut dengan Pembelajaran Kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengeahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja. Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa benuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan[4].
            Sounders menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual difokuskan pada REACT (Relating: belajar dalam konteks pengalaman hidup; Experiencing: belajar dalam konteks pencarian dan penemuan; Applying : belajar ketika pengetahuan diperkenalkan dalam konteks penggunaannya; Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal dan saling berbagi; Transfering: belajar penggunaan pengetahuan dalam suatu konteks atau situasi baru. Penjelasan masing-masing prinsip pembelajaran kontekstual tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Keterkaitan, relevansi (relating)
Proses pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan (prerequisite konwladge) yang telah ada pada diri siswa (relevansi antarfaktor internal seperti bekal pengetahuan, keterampilan, bakat, minat, dengan faktor eksternal seperti ekspose media dan pembelajaran oleh guru dan lingkungan luar), dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata seperti manfaat untuk bekal bekerja di kemudian hari.

b.      Pengalaman langsung (experiencing)
Dalam proses pembelajaran, siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventori, investigasi, penelitian, dan sebagainya. Experiencing dipandang sebagai jantung pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran akan berlangsung cepat jika siswa diberi kesempatan  untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain secara aktif. Untuk mendorong daya tarik dan motivasi, sangatlah bermanfaat penggunaan strategi pembelajaran dan media seperti audio, video, membaca, dan menelaah buku teks, dan sebagainya.

c.       Aplikasi (Applying)
Menerapkan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih dari sekedar hafal. Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk diterapkan atau digunakan pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan (use) fakta konsep, prinsip atau prosedur atau “pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk menggunakan (use)”.
Kemampuan siswa menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat juga dapat mendorong siswa untuk memikirkan karir dan pekerjaan di masa depan yang mereka  minati. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, pengenalan dunia kerja ini dilaksanakan dengan menggunakan buku teks, video, laboratorium, dan bila memungkinkan ditindaklanjuti dengan memberikan pengalaman langsung melalui kegiatan karyawisata, praktik kerja lapangan, magang, dan sebagainya.

d.      Kerja sama (Cooperating)
Kerja sama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan, komunikasi interaktif antarsesama siswa, antarsiswa dengan guru, antarsiswa dengan nara sumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa belajar menguasai materi pembelajaran, tetapi juga sekaligus memberikan wawasan pada dunia nyata bahwa untuk menyelesaikan suatu tugas akan lebih berhasil jika dilakukan secara bersama-sama atau kerja sama dalam bentuk tim kerja.

e.       Alih pengetahuan (transferring)
Pembelajaran kontekstual menekankan pada kemampuan siswa untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain. Dengan kata lain, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak sekadar untuk dihafal, tetapi dapat digunakan atau dialihkan pada situasi dan kondisi lain. Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah-masalah baru merupakan penguasaan strategi kognitif[5].


B. Ciri, Unsur , Karakteristik dan Proses Belajar
            Komalasari mengemukakan, ciri-ciri kegiatan belajar yaitu :
a.       Belajar adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri seseorang, baik secara aktual maupun potensial.
b.      Perubahan yang didapat sesungguhnya adalah kemampuan yang baru dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama.
c.       Perubahan terjadi karena ada usaha dari dalam diri setiap individu[6].




            Terkait karakteristik belajar, Hamalik mengemukakan beberapa karakteristik belajar yang harus dikenali guru dalam membelajarkan siswa, antara lain:
1.      Kebermaknaan, dalam hal ini belajar harus lebih bermakna bagi siswa;
2.      Prasyarat, dalam arti bahan yang dipelajari siswa harus terkait dengan pengalaman prasayarat yang dimiliki siswa;
3.      Model belajar, dalam hal ini model yang disajikan sesuai dengan model perilaku yang dapat diamati dan ditiru siswa;
4.      Komunikasi Terbuka, dalam artian penyajian bahan belajar ditata agar pesan-pesan yang disampaikan guru bersifat terbuka terhadap pendapat siswa;
5.      Daya tarik, dalam artian bahan belajarmemiliki daya tarik penyajian;
6.      Aktif dalam latihan, artinya berusaha mengaktifkan peran siswa dalam latihan atau praktik;
7.      Latihan yang Terbagi, dalam artian proses latihan dilaksanakan dengan cara membagi kepada siswa dalam jangka waktu yang pendek; dan
8.      Tekanan Instruksional, yang diusahakan dengan menekankan kewajiban belajar yang dimulai dari yang kuat, tetapi lambat laun semakin melemah[7].

C. Faktor-Faktor Belajar
            Belajar dan pembelajaran merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan belajar dan pembelajaran dapat digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar dan pembelajaran memerlukan masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan pengalaman belajar dalam proses belajar mengajar (learning teaching process) dengan harapan berubah menjadi keluaran (output) dengan kompetensi tertentu. Selain itu, proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan yang menjadi masukan lingkungan (environment input) dan faktor instrumental (instrumental input) yang merupakan faktor yang secara sengaja dirancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan keluaran yang ingin dihasilkan. Secara skematik uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
            Faktor-faktor pendukung proses belajar dan pembelajaran di atas tidak dapat dipisahkan sehingga akan menghasilkan output yang diinginkan. Jika diuraikan lebih lanjut maka unsur environment input (masukan dari lingkungan) dapat berupa alam dan sosial budaya, sedangkan instrumental berupa kurikulum, program, sumber daya guru, dan fasilitas pendidikan. Raw input merupakan kondisi siswa, seperti unsur fisiologis secara umum serta kondisi pancaindera. Sedangkan unsur psikologis berupa minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif[8].
D. Teori Belajar
            Definisi yang ada tentang belajar mengajar tak terlepas dari adanya teori-teori belajar. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.
            Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental humanistik, naturalisme, dan apersepsi.
            Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme yang biasa juga disebut S-R Stimulus –Respons. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki / membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati.
            Rumpun ketiga adalah Cognitive Gestalt Field. Teori ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam mengggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan[9].










[1] Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi, PT Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 2
[2] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hal. 106
[3] Ibid., hal. 25 - 27
[4] Kokom Komalasari, op. Cit., hal. 6
[5] Ibid, hal. 9-10
[6] Ibid, hal 2
[7] Oemar Hamalik, op. Cit., hal. 27-28
[8] Kokom Komalasari, op. Cit., hal. 4-5
[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 53-55